Jumat, 18 Oktober 2013

Divestasi Saham Tambang Mineral dan Batubara


Ada satu peraturan penting yang diperkirakan akan membuat penerimaan negara sektor pertambangan akan meningkat tajam yaitu Peraturan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI nomor 27 tahun 2013 tentang tata cara dan penetapan harga divestasi saham serta perubahan penanaman modal di bidang usaha pertambangan mineral dan batubara.

Poin pentingnya adalah pada pasal 2 ayat (3) yang mengatur tentang divestasi saham secara bertahap kepada peserta Indonesia minimal 20 % pada tahun keenam, minimal 30 % pada tahun ketujuh, minimal 37 % pada tahun kedelapan, minimal 44 % pada tahun kesembilan dan minimal 51 % pada tahun kesepuluh. Atau dengan kata lain paling lambat tahun kesepuluh sejak berproduksi maka komposisi saham harus minimal 51 % kepada peserta Indonesia. Sedangkan pada pasal 2 ayat (4) menyebutkan peserta Indonesia terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, BUMN, BUMD dan swasta nasional.


Pada poin ini yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai sebuah perusahaan profesional sudah barang tentu para perusahaan investor terikat pada pasal-pasal kontrak kerja yang telah ditandatangani sebelumnya. Untuk kontrak kerja baru tidak akan masalah karena bisa dituangkan pada rancangan kontrak kerja untuk kemudian disetujui bersama. Yang menjadi masalah adalah pada kontrak kerja yang sudah berjalan sudah barang tentu diperlukan amandemen kontrak kerja tentang komposisi saham dan tahapan divestasinya dan ini tidak mudah. Apalagi pada kontrak kerja yang sudah berjalan dan nilai sahamnya sudah sangat mahal maka untuk terjadi divestasi bukanlah semudah membalik telapak tangan. Diperlukan lobi intensif untuk ini. Diperlukan pengaturan lebih lanjut tentang tahapan divestasi saham terhadap kontrak kerja yang sudah berjalan bagaimana mekanisme teknisnya secara detil. Dan dalam rangka divestasi saham tentu ini harus berjalan secara profesional. Peserta Indonesia untuk divestasi tahap awal harus mengedepankan pihak-pihak yang telah teruji tingkat profesionalismenya, dan ini tidak aksan bisa diwakili oleh pemerintah daerah (propinsi, kabupaten, kota) dan BUMD. Untuk divestasi tahap awal harus berhadapan antara investor dengan BUMN + pemerintah pusat. Tahapan awal ini sangat dibutuhkan dalam rangka profesionalisme kerja. Jangan sampai akibat terlalu semangat berdivestasi maka pemerintah daerah dengan segala kesemrawutannya mencoba berkomunikasi dengan perusahaan investor dan dalam prosesnya terjadi ketidakprofesionalan yang justru menjadi kontraproduktif terhadap tujuan mulia divestasi itu sendiri. Untuk itu maka perlu prioritas pihak yang akan berkomunikasi divestasi saham antara perusahaan investor dengan BUMN + pemerintah pusat tersebut. Selanjutnya BUMN + pemerintah pusat secara bertahap dan terukur menjual sahamnya kepada swasta nasional, pemerintah daerah dan BUMD dengan persyaratan yang sangat ketat dan harus menjunjung tinggi profesionalisme kerja. Jangan sampai kepemilikan saham pemda pada perusahaan tambang mineral dan batubara ini justru menciptakan bentuk korupsi baru di pemerintahan daerah.

Masalah selanjutnya muncul pada pendanaan, darimana sumber dana pemda untuk membeli saham divestasi tersebut ? Akankah dana APBD akan tergerogoti untuk pembelian saham tersebut ? Ataukah pemda akan melakukan pinjaman melalui perbankan nasional atau bank BUMD ?

Bagaimanapun juga pemda akan direpotkan dengan sumber pendanaan divestasi tersebut. Akan butuh puluhan tahun bagi pemda untuk bisa memiliki saham dalam jumlah yang signifikan. Untuk itu perlu kiranya dipikirkan bagaimana kiranya pemda memperoleh saham hibah dari pemerintah pusat dan BUMN dalam jumlah 3 % untuk pemerintah kabupaten/kota dan 7 % untuk pemerintah propinsi tempat domisili pertambangan tersebut. Dan pemerintah daerah cukup sebagai pemegang saham saja dan tak perlu sibuk menempatkan SDMnya dalam manajemen perusahaan. Pemerintah daerah cukup menunggu hasilnya saja dari jumlah saham tersebut dalam bentuk pembagian keuntungan perusahaan yang diatur secara intern dalam manajemen perusahaan untuk kemudian menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang dimasukkan dalam APBD yang penggunaannya juga diatur secara ketat untuk kepentingan rakyat bukan untuk kepentingan belanja pegawai. Sehingga dengan demikian pemda tidak terganggu memikirkan jumlah sahamnya tersebut dan bisa konsentrasi dalam menjalankan tugas sosialnya sebagai pemerintahan daerah dan mempercayakan sepenuhnya sahamnya tersebut untuk dikelola BUMN dan pemerintah pusat.

Bila RI memiliki saham 51 %, untuk pemda total 10 % maka sisanya 41 % terserah BUMN dan pemerintah pusat apakah akan dimiliki sendiri seterusnya atau secara fluktuatif diperjualbelikan kepada swasta nasional.

Tentunya divestasi saham minimal 51 % ini harus berkontribusi terhadap pendapatan negara dan diatur berapa persen untuk belanja negara dan berapa persen untuk pelunasan cicilan utang negara. Bila program ini berhasil saya yakin utang negara akan terlunasi dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

18 oktober 2013.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar