Ada satu peraturan penting yang
diperkirakan akan membuat penerimaan negara sektor pertambangan akan meningkat
tajam yaitu Peraturan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI nomor 27 tahun
2013 tentang tata cara dan penetapan harga divestasi saham serta perubahan
penanaman modal di bidang usaha pertambangan mineral dan batubara.
Poin pentingnya adalah pada pasal
2 ayat (3) yang mengatur tentang divestasi saham secara bertahap kepada peserta
Indonesia minimal 20 % pada tahun keenam, minimal 30 % pada tahun ketujuh,
minimal 37 % pada tahun kedelapan, minimal 44 % pada tahun kesembilan dan
minimal 51 % pada tahun kesepuluh. Atau dengan kata lain paling lambat tahun
kesepuluh sejak berproduksi maka komposisi saham harus minimal 51 % kepada
peserta Indonesia. Sedangkan pada pasal 2 ayat (4) menyebutkan peserta
Indonesia terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, BUMN, BUMD dan swasta nasional.
Pada poin ini yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai sebuah perusahaan profesional sudah barang tentu
para perusahaan investor terikat pada pasal-pasal kontrak kerja yang telah
ditandatangani sebelumnya. Untuk kontrak kerja baru tidak akan masalah karena
bisa dituangkan pada rancangan kontrak kerja untuk kemudian disetujui bersama.
Yang menjadi masalah adalah pada kontrak kerja yang sudah berjalan sudah barang
tentu diperlukan amandemen kontrak kerja tentang komposisi saham dan tahapan
divestasinya dan ini tidak mudah. Apalagi pada kontrak kerja yang sudah berjalan
dan nilai sahamnya sudah sangat mahal maka untuk terjadi divestasi bukanlah
semudah membalik telapak tangan. Diperlukan lobi intensif untuk ini. Diperlukan
pengaturan lebih lanjut tentang tahapan divestasi saham terhadap kontrak kerja
yang sudah berjalan bagaimana mekanisme teknisnya secara detil. Dan dalam
rangka divestasi saham tentu ini harus berjalan secara profesional. Peserta
Indonesia untuk divestasi tahap awal harus mengedepankan pihak-pihak yang telah
teruji tingkat profesionalismenya, dan ini tidak aksan bisa diwakili oleh
pemerintah daerah (propinsi, kabupaten, kota) dan BUMD. Untuk divestasi tahap
awal harus berhadapan antara investor dengan BUMN + pemerintah pusat. Tahapan
awal ini sangat dibutuhkan dalam rangka profesionalisme kerja. Jangan sampai
akibat terlalu semangat berdivestasi maka pemerintah daerah dengan segala
kesemrawutannya mencoba berkomunikasi dengan perusahaan investor dan dalam
prosesnya terjadi ketidakprofesionalan yang justru menjadi kontraproduktif
terhadap tujuan mulia divestasi itu sendiri. Untuk itu maka perlu prioritas
pihak yang akan berkomunikasi divestasi saham antara perusahaan investor dengan
BUMN + pemerintah pusat tersebut. Selanjutnya BUMN + pemerintah pusat secara
bertahap dan terukur menjual sahamnya kepada swasta nasional, pemerintah daerah
dan BUMD dengan persyaratan yang sangat ketat dan harus menjunjung tinggi
profesionalisme kerja. Jangan sampai kepemilikan saham pemda pada perusahaan tambang
mineral dan batubara ini justru menciptakan bentuk korupsi baru di pemerintahan
daerah.
Masalah selanjutnya muncul pada
pendanaan, darimana sumber dana pemda untuk membeli saham divestasi tersebut ? Akankah
dana APBD akan tergerogoti untuk pembelian saham tersebut ? Ataukah pemda akan
melakukan pinjaman melalui perbankan nasional atau bank BUMD ?
Bagaimanapun juga pemda akan
direpotkan dengan sumber pendanaan divestasi tersebut. Akan butuh puluhan tahun
bagi pemda untuk bisa memiliki saham dalam jumlah yang signifikan. Untuk itu
perlu kiranya dipikirkan bagaimana kiranya pemda memperoleh saham hibah dari
pemerintah pusat dan BUMN dalam jumlah 3 % untuk pemerintah kabupaten/kota dan
7 % untuk pemerintah propinsi tempat domisili pertambangan tersebut. Dan
pemerintah daerah cukup sebagai pemegang saham saja dan tak perlu sibuk
menempatkan SDMnya dalam manajemen perusahaan. Pemerintah daerah cukup menunggu
hasilnya saja dari jumlah saham tersebut dalam bentuk pembagian keuntungan
perusahaan yang diatur secara intern dalam manajemen perusahaan untuk kemudian
menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang dimasukkan dalam APBD yang
penggunaannya juga diatur secara ketat untuk kepentingan rakyat bukan untuk
kepentingan belanja pegawai. Sehingga dengan demikian pemda tidak terganggu
memikirkan jumlah sahamnya tersebut dan bisa konsentrasi dalam menjalankan
tugas sosialnya sebagai pemerintahan daerah dan mempercayakan sepenuhnya
sahamnya tersebut untuk dikelola BUMN dan pemerintah pusat.
Bila RI memiliki saham 51 %,
untuk pemda total 10 % maka sisanya 41 % terserah BUMN dan pemerintah pusat
apakah akan dimiliki sendiri seterusnya atau secara fluktuatif diperjualbelikan
kepada swasta nasional.
Tentunya divestasi saham minimal
51 % ini harus berkontribusi terhadap pendapatan negara dan diatur berapa
persen untuk belanja negara dan berapa persen untuk pelunasan cicilan utang
negara. Bila program ini berhasil saya yakin utang negara akan terlunasi dalam
waktu yang tidak terlalu lama.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
18 oktober 2013.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar