Jumat, 22 Februari 2013

Balada Dana Nonbutgeter


 Beberapa hari ini energi pikiran kita dikuras oleh polemik aliran dana nonbudgeter salah satu departemen atas pengakuan mantan menterinya. Seperti alunan lagu Bengawan Solo : “air mengalir sampai jauh……..” walaupun menterinya sendiri sudah menjelaskan bahwa aliran dana nonbudgeter ke para politisi tidak lebih dari 10 % namun pemberitaan yang gencar malah pemberitaan aliran dana yang kurang dari 10 % tersebut. Sekarang aroma politik sudah terlalu dominan, segalanya dipolitikkan. Bahkan mungkin pilihan warna keramik kamar mandipun akan dimaknai secara politik.

 Ada apa dengan dana nonbudgeter ? Apakah rasanya berbeda dengan kolak serabi ?

 Teman saya yang aktif di salah satu kelompok studi pernah memberikan autokritik pada saya bahwasanya yang menopang administrasi negara ini tetap berjalan sampai saat ini salah satunya adalah dana nonbudgeter. Tanpa dana nonbudgeter maka administrasi negara ini sudah tumbang akibat rapuh dan SDM pemerintahan akan kurang gizi.


 Bila kita gali lebih jauh, awal mula lahirnya dana nonbudgeter adalah akibat dari adanya pembiayaan nonbudgeter, artinya ada dan banyak pos pengeluaran dalam menjalankan administrasi pemerintahan ini yang tak teranggarkan. Dan ini terbagi 2 (dua) kategori :
1.      Tak teranggarkan karena anggarannya tidak cukup.
2.       Tak teranggarkan karena tidak boleh dianggarkan dan tidak ada kode anggarannya.

Pada kategori yang pertama, anggaran tidak cukup, ini terkait dengan sebuah perencanaan anggaran yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan ini bisa karena prediksi kebutuhan yang tidak tepat, kesembronoan dalam penyusunan anggaran atau karena kualitas perencana anggaran yang di bawah standar. Misalnya, anggaran untuk pengadaan kertas dalam setahun ternyata habis dalam waktu 1 triwulan. Jelas, tak mungkin pemerintahan harus berhenti hanya karena ketiadaan kertas. Dan juga tak mungkin harus menunggu proses Perubahan APBN/APBD hanya untuk mengusulkan tambahan anggaran untuk pengadaan kertas. Mulailah sang bendahara berusaha agar kertas bisa diadakan dengan dana nonbudgeter dari berbagai sumber.

 Pada kategori kedua, tak bisa dianggarkan, sementara pengeluarannya ril di lapangan. Di sini sebenarnya ada banyak pengeluaran yang bersifat positif, seperti sumbangan kegiatan kemasyarakatan, konsumsi dan akomodasi tamu, bantuan sosial, dan lain sebagainya. Walaupun bersifat positif tapi kegiatan yang seperti ini tidak bisa dianggarkan dalam APBN/APBD sehingga sang bendahara harus berusaha keras untuk mengadakan dana nonbudgeter dari berbagai pihak, baik yang bersifat ikhlas, yang ada maksud terselubungnya ataupun yang merasa terpaksa.

 Pada kategori kedua, tak teranggarkan, karena pengeluaran tersebut penuh dengan muatan politis, tidak akan saya bahas, karena saya pribadi belakangan ini sedang alergi politik.

 Dari penjelasan di atas, titik tolak dari kelahiran dana nonbudgeter adalah akibat adanya pengeluaran nonbudgeter. Dan dari titik tolak ini ada beberapa hal yang perlu diperbaiki :

Selektifitas Bendahara : sudah menjadi rahasia umum bahwa menjadi bendahara masih merupakan impian banyak PNS karena dianggap sakral dan basah. Tidak ada parameter yang terukur dan standar dalam pemilihan seorang PNS untuk menjadi bendahara. Biasanya diambil dari yang memiliki pangkat golongan II (tamatan SMA sederajat). Kualitas seorang bendahara sangat menentukan dalam melakukan prediksi kebutuhan dan keakuratan penyusunan anggaran, terutama anggaran rutin pegawai. Sebagaimana proses sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa yang diwajibkan kepada para pimpro dan pengguna anggaran lainnya, maka bagi seorang bendahara perlu dilakukan proses sertifikasi keahlian bendahara di mana materi seleksinya bisa diambil dari UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, PP tentang Pengelolaan Keuangan Negara dan Permendagri nomor 13 tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Sertifikasi ini diperlukan untuk menseleksi dan mendorong para PNS terbaik untuk menjadi pengelola  keuangan negara/daerah sehingga pengeluaran nonbudgeter bisa dieliminir.

 Mengakomodir kelebihan pengeluaran anggaran dalam bentuk anggaran defisit : ini dilakukan untuk pos anggaran rutin yang sering terjadi dalam menjalankan administrasi pemerintahan. Dan dalam proses pengadaannya bisa dilakukan dengan berhutang pada pihak ketiga dan pembayarannya dilakukan pada tahun anggaran selanjutnya. Pendefisitan ini tentunya akan dipertanggungjawabkan bendahara dan pimpinnya dengan menjelaskan untuk apa saja pengeluaran nonbudgeter tersebut dan bagaimana tingkat kerealistisannya.

Penyempurnaan mata anggaran : jenis pengeluaran yang ril di lapangan tapi tidak ada mata anggarannya sebaiknya dilegalkan dan dimasukkan dalam mata anggaran APBN/APBD sehingga pengeluaran nonbudgeter bisa dieliminir.

 Perbaikan kesejahteraan PNS : penghasilan lain yang sah dalam bentuk mata anggaran belanja pegawai selain gaji bagi para PNS sebaiknya dilekatkan langsung dalam gaji PNS dengan menambah jenis tunjangan seperti : tunjangan transportasi, tunjangan lauk pauk, tunjangan pendidikan anak, tunjangan kesehatan dan lain sebagainya. Sudah bukan rahasia lagi, dana nonbudgeter kelas teri seperti kutipan dalam pengurusan KTP, ijin usaha di daerah, dan lainnya dilakukan akibat gaji PNS rendahan yang tidak memadai.

 Aplikasi Teknologi dalam pengurusan anggaran : seringkali para pengelola anggaran terutama di daerah harus pergi ke Jakarta hanya untuk mengurus anggaran daerahnya. Entah apanya yang harus diurus saya sendiri kurang faham. Mungkin istilah percaloan anggaran ada dalam kategori ini. Dengan pemanfaatan teknologi informasi maka para pengelola keuangan daerah tidak perlu lagi ke Jakarta, cukup lewat internet maka segalanya sudah terselesaikan. Semoga program integrasi program antar lembaga pemerintah via e-government yang dicanangkan Menkominfo bisa dimanfaatkan untuk memperpendek jarak dan waktu komunikasi pengurusan anggaran.

Subsidi politik : menyangkut aliran dana nonbudgeter salah satu departemen yang mengalir ke berbagai pihak politik pada pilpres 2004 yang lalu, saya melihat bahwa ada beberapa pembiayaan politik yang bisa disubsidi oleh pemerintah pusat/daerah ataupun dengan kesediaan BUMN/swasta dalam pemenuhan subsidi tersebut. Di antaranya subsidi iklan kampanye, subsidi transportasi kampanye antar daerah, subsidi iklan kampanye di media massa, peminjaman aset negara/daerah seperti sound sistem dan lainnya. Berbagai subsidi ini tidak akan merugikan negara/BUMN/swasta. Yang terjadi hanyalah berkurangnya penghasilan negara/BUMN/swasta akibat subsidi politik tersebut. Pensubsidian yang dimaksud adalah dengan menggratiskan pembiayaan politik tersebut oleh pihak yang menyediakannya. Misalnya penayangan iklan politik di TV digratiskan, ongkos pesawat untuk kampanye ke daerah lain digratiskan, pinjam sound sistem  digratiskan, dan lain sebagainya.

 7. Mengembalikan konsistensi para partai reformis : banyak pihak yang kecewa melihat bahwa para reformis dan partainya kebagian dana nonbudgeter salah satu departemen. Pengakuan beberapa reformis tidak akan pernah mengobati kekecewaan para pendukung reformasi. Ini bisa menjadi titik tolak untuk menggugah kembali konsistensi para partai reformis. Kekecewaan ini paling banyak terjadi di daerah di mana pada banyak pilkada, calon kepala daerah yang terpilih menjadi kepala daerah masih membutuhkan biaya politik yang cukup tinggi, termasuk untuk pembiayaan yang harus dikeluarkan kepada para partai reformis. Bisa jadi partai reformis sudah kehilangan kereformisannya atau para elit partainya tidak linear dengan misi partainya yang reformis.

Saya sendiri mengakui autokritik yang dilontarkan teman saya yang aktifis lembaga studi yang saya kutip di awal tadi, bahwa dana nonbudgeter adalah salah satu penopang tetap berjalannya administrasi negara ini. Bahkan korupsi sendiri masih menjadi penopang tetap berjalannya administrasi negara ini. Seandainya pada detik ini korupsi dalam berbagai bentuknya dihentikan serentak maka seluruh PNS yang berpenghasilan menengah ke bawah akan memberhentikan anak – anaknya dari bangku kuliah karena tidak mampu lagi membiayai pendidikan tinggi anak – anaknya. Dan autokritik ini bukan berarti sebagai pembenaran untuk melestarikan pengadaan dana nonbudgeter tapi sebagai cambuk bagi kita untuk membenahi kembali benang kusut kenegaraan yang sudah sedemikian semrawut ini. Tokoh reformis yang ikut terkena noda dana nonbudgeter membuktikan bahwa kesalahan tersebut adalah kesalahan sistemik, yang hanya akan bisa dibenahi secara sistemik pula.

 Salam Reformasi.

 Rahmad Daulay

31 mei 2007

 *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar