Pada beberapa pemilukada ada
selentingan informasi miring yang menyatakan bahwa ada pasangan calon kepala
daerah – wakil kepala daerah kabupaten ternyata telah menghabiskan dana lebih
dari 50 M untuk mendanai kegiatan kampanye politiknya. Dan belum tentu menang. (Kalau
kalah, lengkaplah sudah penderitaan). Bila saja diasumsikan pada politik uang
yang terjadi masing-masing suara dihargai 100 ribu maka total dana tersebut dihabiskan
untuk 500.000 suara, sementara total pemilih di daerah tersebut tidak sampai
sebanyak itu.
Salah satu penyebab mahalnya
sebuah politik adalah pada politik uang untuk membeli suara. Dulu pada awal
pelaksanaan pilkada era reformasi, sebuah suara masih dihargai antara 10.000 –
20.000 rupiah saja. Sekarang sudah mencapai 100.000 rupiah. Dan bukan tidak
mungkin harga akan naik terus. Dan ini gila. Bila menang tentu modal harus
dikembalikan dan yang menjadi sasaran adalah APBD dan jual beli jabatan pada mutasi jabatan. Jangan – jangan mutasi
jabatan bukan 3 tahun sekali tapi akan dilakukan 3 kali setahun.
Oleh karena itu salah satu faktor
yang harus dihapuskan apabila ingin mewujudkan politik murah meriah adalah
dengan menghapus praktek politik uang membeli suara.
Bagaimana caranya ?
Politik uang membeli suara
terlaksana akibat adanya segitiga rahasia : pemberi uang – uang – penerima
uang. Pemberi uang memiliki tingkatan mulai dari pemilik uang itu sendiri dan
lini distribusi bertingkat dan ujung tombaknya adalah tim sukses di tingkatan
desa, RT/RW dan gang pemukiman serta perTPS. Tim sukses pada lini terbawah
dimaknai sebagai tim sukses pembeli suara. Di sini mata rantai harus diputus.
Keberadaan tim sukses lini terbawah (pada tingkatan desa, RT/RW, gang dan
perTPS) harus dihapus dan dilarang keberadaannya. Keberadaan tim sukses paling
rendah cukup pada tingkatan kecamatan. Semua orang yang menjadi tim sukses
harus jelas identitasnya dan dituangkan dalam sebuah SK. Harus diatur dengan
jelas apa itu tugas dan fungsi tim sukses. Dengan demikian maka pergerakan
politik uang bisa dipangkas.
Siapa sebenarnya yang sering
menjadi tim sukses lini terbawah ini ? Mereka biasanya terdiri dari tokoh
pemuda, tokoh masyarakat dan tokoh agama yang direkrut sedemikian rupa untuk
memihak kepada salah satu calon kepala daerah. Tentunya bila politik uang
dipangkas maka mereka akan kehilangan penghasilan dadakan dari pemilukada ini. Untuk
meminimalisir dampak negatifnya maka mereka bisa direkrut sebagai ujung tombak
Panitia Pengawas Pemilukada di tingkatan desa dengan honorarium yang mencukupi
untuk menolak godaan.
Tentunya bila keberadaan tim sukses
lini bawah (desa, RT/RW, gang dan perTPS) ini ditiadakan maka peserta
pemilukada akan keberatan karena mereka merasa dibatasi dalam memperkenalkan
calonnya kepada masyarakat. Walaupun alasan keberatan ini masuk akal namun
sebenarnya tidak juga karena sebagian besar pemilih tidak pernah mengenal
peserta pemilukada secara benar. Bahkan sering terjadi walau uang sudah di
tangan tapi pada waktu pencontrengan mereka lupa siapa sebenarnya calon yang
harus dipilih. Oleh karena itu bila keberadaan tim sukses lini bawah ini harus
dihapus maka harus ada alternatif lain metode pengenalan para peserta
pemilukada calon kepala daerah tersebut kepada masayarakat pemilik suara. Saya
sendiri mengusulkan agar profil dan latar belakang serta visi misi kampanye
tertulis agar diakomodir dalam bentuk brosur berukuran tabloid. Brosur ini
dibatasi misalnya 4 halaman masing – masing calon kepala daerah. Bila calon
kepala daerah terdiri dari 7 pasangan maka berarti ada 28 halaman brosur
kampanye tertulis. Brosur ini dikemas sedemikian rupa dan didesain oleh masing
– masing calon kepala daerah dan biaya sehemat mungkin dengan memakai bahan
kertas murah meriah dan beban biayanya ditanggung negara melalui KPUD.
Diusahakan biaya perbrosur sama dengan harga 1 tabloid mingguan. Brosur
kampanye tertulis ini dibagikan pada masing – masing rumah pemilik suara
bersamaan dengan pembagian undangan pencontrengan. Pemilik suara akan mengenal
secara berimbang semua peserta pemilukada calon kepala daerahnya. Dengan
demikian maka alasan untuk menghapus tim sukses lini bawah bisa masuk akal.
Bagaimana kalau ternyata secara
terselubung praktek politik uang masih berjalan ? Bila ternyata fungsi
pengawasan dari para tokoh pemuda, tokoh masayarakat dan tokoh agama tidak
maksimal ? Di sini dibutuhkan pengawasan rahasia (atau lebih seram dengan
menyebutkan operasi khusus). Bagaimana bentuk pengawasan rahasia ini tentunya
pihak keamanan dan Panwaslu lebih faham bagaimana formulanya. Di sini fungsi
pengawasan rahasia ini berguna untuk mengumpulkan data dan deteksi dini
pergerakan politik uang dan untuk kemudian dilakukan penangkapan basah lengkap
dengan bukti materil. Penangkapan basah ini harus diproses secara hukum dan
bila terbukti maka peserta pemilukada yang menjadi dalangnya harus
didiskualifikasi. Tapi harus diingat yang akan dikenakan sangsi pidana adalah
para dalang dan aktor intelektualnya, sementara oknum pelaksana langsung
politik uang yang pada umumnya rakyat kecil dan hanya mengharapkan upah
secukupnya saja cukup diberikan sangsi ringan, seperti sangsi membersihkan
selokan selama 1 bulan. Dalam hal ini perlu dilakukan konsistensi. Apabila
penerapannya ternyata harus membawa konsekuensi batalnya pemilukada maka
konsekuensi ini harus dijalankan. Memang harus difahami apabila ingin menghapus
praktek politik uang maka harus ada beberapa pemilukada yang akan menjadi
korban, akan ada beberapa pemilukada ulang yang akan menjadi korban. Dan ini
harus tegas. Ketegasan ini tentunya akan membawa efek jera terhadap pemilukada
yang akan datang. Bila pemilukada gagal dan pemilukada ulang juga gagal maka
konsekuensinya Kemendagri menunjuk seorang pejabat kepala daerah selama
beberapa tahun untuk kemudian dilakukan pemilukada lagi.
Selain politik uang, mekanisme
kerja KPUD dan metode pemilukada juga harus disederhanakan. Pos anggaran yang
boros harus dihapus atau diganti metodenya. Data kependudukan online dan
e-voting cukup menjanjikan untuk dilakukannya penghematan anggaran KPUD dan
anggaran kampanye. Juga dengan memperbanyak calon independen. Bila calon partai
berjumlah 7 maka calon independen bisa dibuat 13 sehingga jumlah calon menjadi
20.
Salam reformasi
Rahmad Daulay.
16 juni 2011.
* * * .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar