Jumat, 22 Februari 2013

Rasionalisasi Tim Sukses : Menuju Politik Murah Meriah


Pada beberapa pemilukada ada selentingan informasi miring yang menyatakan bahwa ada pasangan calon kepala daerah – wakil kepala daerah kabupaten ternyata telah menghabiskan dana lebih dari 50 M untuk mendanai kegiatan kampanye politiknya. Dan belum tentu menang. (Kalau kalah, lengkaplah sudah penderitaan). Bila saja diasumsikan pada politik uang yang terjadi masing-masing suara dihargai 100 ribu maka total dana tersebut dihabiskan untuk 500.000 suara, sementara total pemilih di daerah tersebut tidak sampai sebanyak itu.

Salah satu penyebab mahalnya sebuah politik adalah pada politik uang untuk membeli suara. Dulu pada awal pelaksanaan pilkada era reformasi, sebuah suara masih dihargai antara 10.000 – 20.000 rupiah saja. Sekarang sudah mencapai 100.000 rupiah. Dan bukan tidak mungkin harga akan naik terus. Dan ini gila. Bila menang tentu modal harus dikembalikan dan yang menjadi sasaran adalah APBD dan jual beli jabatan  pada mutasi jabatan. Jangan – jangan mutasi jabatan bukan 3 tahun sekali tapi akan dilakukan 3 kali setahun.


Oleh karena itu salah satu faktor yang harus dihapuskan apabila ingin mewujudkan politik murah meriah adalah dengan menghapus praktek politik uang membeli suara.

Bagaimana caranya ?

Politik uang membeli suara terlaksana akibat adanya segitiga rahasia : pemberi uang – uang – penerima uang. Pemberi uang memiliki tingkatan mulai dari pemilik uang itu sendiri dan lini distribusi bertingkat dan ujung tombaknya adalah tim sukses di tingkatan desa, RT/RW dan gang pemukiman serta perTPS. Tim sukses pada lini terbawah dimaknai sebagai tim sukses pembeli suara. Di sini mata rantai harus diputus. Keberadaan tim sukses lini terbawah (pada tingkatan desa, RT/RW, gang dan perTPS) harus dihapus dan dilarang keberadaannya. Keberadaan tim sukses paling rendah cukup pada tingkatan kecamatan. Semua orang yang menjadi tim sukses harus jelas identitasnya dan dituangkan dalam sebuah SK. Harus diatur dengan jelas apa itu tugas dan fungsi tim sukses. Dengan demikian maka pergerakan politik uang bisa dipangkas.

Siapa sebenarnya yang sering menjadi tim sukses lini terbawah ini ? Mereka biasanya terdiri dari tokoh pemuda, tokoh masyarakat dan tokoh agama yang direkrut sedemikian rupa untuk memihak kepada salah satu calon kepala daerah. Tentunya bila politik uang dipangkas maka mereka akan kehilangan penghasilan dadakan dari pemilukada ini. Untuk meminimalisir dampak negatifnya maka mereka bisa direkrut sebagai ujung tombak Panitia Pengawas Pemilukada di tingkatan desa dengan honorarium yang mencukupi untuk menolak godaan.

Tentunya bila keberadaan tim sukses lini bawah (desa, RT/RW, gang dan perTPS) ini ditiadakan maka peserta pemilukada akan keberatan karena mereka merasa dibatasi dalam memperkenalkan calonnya kepada masyarakat. Walaupun alasan keberatan ini masuk akal namun sebenarnya tidak juga karena sebagian besar pemilih tidak pernah mengenal peserta pemilukada secara benar. Bahkan sering terjadi walau uang sudah di tangan tapi pada waktu pencontrengan mereka lupa siapa sebenarnya calon yang harus dipilih. Oleh karena itu bila keberadaan tim sukses lini bawah ini harus dihapus maka harus ada alternatif lain metode pengenalan para peserta pemilukada calon kepala daerah tersebut kepada masayarakat pemilik suara. Saya sendiri mengusulkan agar profil dan latar belakang serta visi misi kampanye tertulis agar diakomodir dalam bentuk brosur berukuran tabloid. Brosur ini dibatasi misalnya 4 halaman masing – masing calon kepala daerah. Bila calon kepala daerah terdiri dari 7 pasangan maka berarti ada 28 halaman brosur kampanye tertulis. Brosur ini dikemas sedemikian rupa dan didesain oleh masing – masing calon kepala daerah dan biaya sehemat mungkin dengan memakai bahan kertas murah meriah dan beban biayanya ditanggung negara melalui KPUD. Diusahakan biaya perbrosur sama dengan harga 1 tabloid mingguan. Brosur kampanye tertulis ini dibagikan pada masing – masing rumah pemilik suara bersamaan dengan pembagian undangan pencontrengan. Pemilik suara akan mengenal secara berimbang semua peserta pemilukada calon kepala daerahnya. Dengan demikian maka alasan untuk menghapus tim sukses lini bawah bisa masuk akal.

Bagaimana kalau ternyata secara terselubung praktek politik uang masih berjalan ? Bila ternyata fungsi pengawasan dari para tokoh pemuda, tokoh masayarakat dan tokoh agama tidak maksimal ? Di sini dibutuhkan pengawasan rahasia (atau lebih seram dengan menyebutkan operasi khusus). Bagaimana bentuk pengawasan rahasia ini tentunya pihak keamanan dan Panwaslu lebih faham bagaimana formulanya. Di sini fungsi pengawasan rahasia ini berguna untuk mengumpulkan data dan deteksi dini pergerakan politik uang dan untuk kemudian dilakukan penangkapan basah lengkap dengan bukti materil. Penangkapan basah ini harus diproses secara hukum dan bila terbukti maka peserta pemilukada yang menjadi dalangnya harus didiskualifikasi. Tapi harus diingat yang akan dikenakan sangsi pidana adalah para dalang dan aktor intelektualnya, sementara oknum pelaksana langsung politik uang yang pada umumnya rakyat kecil dan hanya mengharapkan upah secukupnya saja cukup diberikan sangsi ringan, seperti sangsi membersihkan selokan selama 1 bulan. Dalam hal ini perlu dilakukan konsistensi. Apabila penerapannya ternyata harus membawa konsekuensi batalnya pemilukada maka konsekuensi ini harus dijalankan. Memang harus difahami apabila ingin menghapus praktek politik uang maka harus ada beberapa pemilukada yang akan menjadi korban, akan ada beberapa pemilukada ulang yang akan menjadi korban. Dan ini harus tegas. Ketegasan ini tentunya akan membawa efek jera terhadap pemilukada yang akan datang. Bila pemilukada gagal dan pemilukada ulang juga gagal maka konsekuensinya Kemendagri menunjuk seorang pejabat kepala daerah selama beberapa tahun untuk kemudian dilakukan pemilukada lagi.

Selain politik uang, mekanisme kerja KPUD dan metode pemilukada juga harus disederhanakan. Pos anggaran yang boros harus dihapus atau diganti metodenya. Data kependudukan online dan e-voting cukup menjanjikan untuk dilakukannya penghematan anggaran KPUD dan anggaran kampanye. Juga dengan memperbanyak calon independen. Bila calon partai berjumlah 7 maka calon independen bisa dibuat 13 sehingga jumlah calon menjadi 20.

Salam reformasi

Rahmad Daulay.

16 juni 2011.

*   *   *    .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar