Batinku resah gelisah ketika
melewati jalan keluar komplek perkantoran kami. Betapa umbul – umbul bendera
merah putih dan bendera hias lainnya untuk memperingati HUT RI yang
ke-63 seakan menatap tajam pada diriku yang telah berlumur lumpur gelap kegagalan
reformasi. Kegagalan dan ketidakmampuan dalam merenangi lautan kesemrawutan reformasi
terutama di bidang infrastruktur. Entah apa lagi yang bisa dibanggakan dalam
kehidupan bernegara ini. Mengatasi kabut asap pembakaran hutan dan lumpur
porong saja kita tidak mampu. Kita hanya bisa menciptakan banyak partai politik
sampai ke daerah – daerah tanpa perduli apakah parpol tersebut punya anggota / massa atau tidak.
Senja mulai temaram. Senja tidak
begitu merah lagi karena terselimuti kabut asap. Gunung yang menjulang tinggi
dan begitu perkasa setiap hari kini tenggelam dalam pekatnya kabut asap. Aku
hanya menatap lurus ke depan. Dan aku terhenyak ketika melewati sekretariat
sebuah LSM lingkungan hidup. Aku terhenyak bukan karena gerakan lingkungan
hidup yang mereka suarakan, tetapi terhenyak mengingat pohon kelapa yang pernah
tumbang di depan sekretariat tersebut dan menewaskan seorang tukang becak
beserta penumpangnya. Suatu ironi kehidupan mengingat betapa banyak manusia
yang berlumur dosa tapi pohon kelapa tumbang tersebut lebih memilih seorang
tukang becak dan penumpangnya untuk menjadi korbannya.
Pohon kelapa tumbang tersebut
merupakan perlambang atas kehidupan perkorupsian dan pemberantasannya. Bila kita
ibaratkan sang pohon kelapa sebagai tindakan korupsi. Pohon kelapa memberi
hasil berupa buah kelapa yang bisa dipanen oleh pemiliknya dan bisa juga
dipanen oleh maling kelapa. Namun ketika pohon kelapa tumbang maka dia akan
menimpa siapa saja yang berada di jangkauan timpaannya tanpa memandang siapapun
dia, pemiliknyakah, atau maling kelapakah atau tukang becak atau siapapun. Demikian
juga sebuah tindakan korupsi. Hasilnya bisa dipetik oleh pemilik / pengelola
proyek ataupun para invisible hand. Dan ketika tindakan korupsi tersebut ingin
menimpa / mengambil korban maka korbannya tidak akan memandang siapa siapa,
yang penting berada pada jangkauan timpaannya.
Perumpamaan pohon kepala tumbang
tersebut merupakan sebuah monumen tentang kelestarian korupsi. Mengapa ditengah
gencarnya gerakan pemberantasan korupsi, korupsinya sendiri bebas berkembang
biak dan terus terlestarikan ? Tindakan korupsi selalu menghasilkan dua pihak
yaitu pihak pertama yang memetik hasil korupsi dan pihak kedua yang akan terancam
hukuman. Pihak pertama penikmat hasil korupsi bergerak pada tataran non
administratif dan tak pernah meninggalkan barang bukti materil, merekalah para invisible
hand yang tak pernah terjangkau hukum formal. Mereka tidak memiliki kewenangan
tetapi memiliki kekuasaan. Pihak kedua yang akan terancam hukuman selalu
bergerak pada tataran administratif dan selalu meninggalkan barang bukti
materil, merekalah para pengelola proyek (pimpro, pengguna anggaran, pejabat
pembuat komitmen, panitia lelang, bendahara proyek dan kepala daerah). Mereka
memiliki kewenangan tetapi tidak memiliki kekuasaan.
Bila gerakan pemberantasan
korupsi masih berada pada tataran administratif dan berdasarkan bukti materil
maka pembersantasan korupsi hanya akan bergerak seperti sarang laba – laba yang
hanya bisa menangkap lalat dan nyamuk. Penjara hanya akan dipenuhi oleh para
pengelola proyek. Hal ini hanya akan membuat proses pembangunan menjadi macet
karena sudah tidak ada lagi PNS yang mau menjadi pengelola proyek karena ujung
– ujungnya hanya akan menjadi tumbal pemberantasan korupsi. Muncullah istilah
“ATM berjalan”, suatu sebutan kepada para pengelola proyek yang sudah masuk
pada jeratan hukum, juga menjadi sebutan kepada mereka hasil “tradisi
berkurban”, pimpinan yang mengkurbankan anak buahnya ataupun anak buah yang
mengkurbankan pimpinannya.
Apakah kita akan begini terus,
memakan para korban sia – sia ? Apakah para pemberantas korupsi akan selalu
kalah lihai dengan mereka para invisible hand penikmat hasil korupsi ?
Entahlah, yang kutahu pasti kabut
asap masih menyelimuti langitku. Sepekat asap kehidupan yang menyelimuti
hatiku.
Pikiranku melayang pada pidato
kenegaraan presiden di depan DPR dalam rangka menyambut HUT RI ke-63 terutama
pada topik pemberian beasiswa kepada para pelajar peraih medali emas olimpiade
sains tingkat dunia. Mereka akan diberi beasiswa untuk belajar di universitas
manapun di dunia sampai tingkat doktor. Sebuah kebanggaan semu yang tidak layak
untuk diperdengarkan di kalangan pelajar. Bagaimana dengan para pelajar terbaik
tingkat nasional, pelajar terbaik tingkat propinsi, pelajar terbaik tingkat
kabupaten / kota, pelajar terbaik tingkat kecamatan, pelajar terbaik tingkat
kelurahan / desa, pelajar terbaik tingkat sekolah dan pelajar terbaik tingkat
kelas ? Bukankah mereka juga berhak mendapat beasiswa sebagai penghargaan dan
motivasi belajar mereka ? Sebuah prestasi menjadi pelajar terbaik di kelasnya
yang hanya diajar oleh guru honorer bergaji pas-pasan di pedesaan jauh lebih
layak untuk diberi penghargaan berbentuk beasiswa daripada prestasi gemilang
medali emas tingkat dunia yang diajari oleh seorang YS. Mengapa demikian ? Karena
pelajar terbaik tingkat kelas di pedesaan tersebut akan menjadi tulang punggung
pembangunan daerahnya sementara para pelajar berprestasi dunia tersebut
kemungkinan besar akan disia-siakan oleh negeri ini seperti kita telah mensia-siakan
banyak putra – putri terbaik bangsa karena mereka lebih dihargai oleh bangsa
asing dengan memberi penghargaan dan pekerjaan / penghidupan yang layak untuk kualitas
yang mereka miliki. Sementara di negeri mereka sendiri mereka harus berenang di
lumpur dosa dan malah mungkin akan menjadi tumbal / korban pemberantasan
korupsi.
Senja kian temaram. Azan magrib
bergema di langit berselimutkan kabut asap. Dan hatikupun semakin gelap.
Segelap langit yang tak lagi biru.
Selamat malam Indonesiaku.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
18 november 2009
***** .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar