Jumat, 22 Februari 2013

Lamunan Senja Kala : Selamat Malam Indonesiaku


Batinku resah gelisah ketika melewati jalan keluar komplek perkantoran kami. Betapa umbul – umbul bendera merah putih dan bendera hias lainnya untuk memperingati HUT RI yang ke-63 seakan menatap tajam pada diriku yang telah berlumur lumpur gelap kegagalan reformasi. Kegagalan dan ketidakmampuan dalam merenangi lautan kesemrawutan reformasi terutama di bidang infrastruktur. Entah apa lagi yang bisa dibanggakan dalam kehidupan bernegara ini. Mengatasi kabut asap pembakaran hutan dan lumpur porong saja kita tidak mampu. Kita hanya bisa menciptakan banyak partai politik sampai ke daerah – daerah tanpa perduli apakah parpol tersebut punya anggota / massa atau tidak.  

Senja mulai temaram. Senja tidak begitu merah lagi karena terselimuti kabut asap. Gunung yang menjulang tinggi dan begitu perkasa setiap hari kini tenggelam dalam pekatnya kabut asap. Aku hanya menatap lurus ke depan. Dan aku terhenyak ketika melewati sekretariat sebuah LSM lingkungan hidup. Aku terhenyak bukan karena gerakan lingkungan hidup yang mereka suarakan, tetapi terhenyak mengingat pohon kelapa yang pernah tumbang di depan sekretariat tersebut dan menewaskan seorang tukang becak beserta penumpangnya. Suatu ironi kehidupan mengingat betapa banyak manusia yang berlumur dosa tapi pohon kelapa tumbang tersebut lebih memilih seorang tukang becak dan penumpangnya untuk menjadi korbannya.


Pohon kelapa tumbang tersebut merupakan perlambang atas kehidupan perkorupsian dan pemberantasannya. Bila kita ibaratkan sang pohon kelapa sebagai tindakan korupsi. Pohon kelapa memberi hasil berupa buah kelapa yang bisa dipanen oleh pemiliknya dan bisa juga dipanen oleh maling kelapa. Namun ketika pohon kelapa tumbang maka dia akan menimpa siapa saja yang berada di jangkauan timpaannya tanpa memandang siapapun dia, pemiliknyakah, atau maling kelapakah atau tukang becak atau siapapun. Demikian juga sebuah tindakan korupsi. Hasilnya bisa dipetik oleh pemilik / pengelola proyek ataupun para invisible hand. Dan ketika tindakan korupsi tersebut ingin menimpa / mengambil korban maka korbannya tidak akan memandang siapa siapa, yang penting berada pada jangkauan timpaannya.

Perumpamaan pohon kepala tumbang tersebut merupakan sebuah monumen tentang kelestarian korupsi. Mengapa ditengah gencarnya gerakan pemberantasan korupsi, korupsinya sendiri bebas berkembang biak dan terus terlestarikan ? Tindakan korupsi selalu menghasilkan dua pihak yaitu pihak pertama yang memetik hasil korupsi dan pihak kedua yang akan terancam hukuman. Pihak pertama penikmat hasil korupsi bergerak pada tataran non administratif dan tak pernah meninggalkan barang bukti materil, merekalah para invisible hand yang tak pernah terjangkau hukum formal. Mereka tidak memiliki kewenangan tetapi memiliki kekuasaan. Pihak kedua yang akan terancam hukuman selalu bergerak pada tataran administratif dan selalu meninggalkan barang bukti materil, merekalah para pengelola proyek (pimpro, pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, panitia lelang, bendahara proyek dan kepala daerah). Mereka memiliki kewenangan tetapi tidak memiliki kekuasaan.

Bila gerakan pemberantasan korupsi masih berada pada tataran administratif dan berdasarkan bukti materil maka pembersantasan korupsi hanya akan bergerak seperti sarang laba – laba yang hanya bisa menangkap lalat dan nyamuk. Penjara hanya akan dipenuhi oleh para pengelola proyek. Hal ini hanya akan membuat proses pembangunan menjadi macet karena sudah tidak ada lagi PNS yang mau menjadi pengelola proyek karena ujung – ujungnya hanya akan menjadi tumbal pemberantasan korupsi. Muncullah istilah “ATM berjalan”, suatu sebutan kepada para pengelola proyek yang sudah masuk pada jeratan hukum, juga menjadi sebutan kepada mereka hasil “tradisi berkurban”, pimpinan yang mengkurbankan anak buahnya ataupun anak buah yang mengkurbankan pimpinannya.

Apakah kita akan begini terus, memakan para korban sia – sia ? Apakah para pemberantas korupsi akan selalu kalah lihai dengan mereka para invisible hand penikmat hasil korupsi ?

Entahlah, yang kutahu pasti kabut asap masih menyelimuti langitku. Sepekat asap kehidupan yang menyelimuti hatiku.

Pikiranku melayang pada pidato kenegaraan presiden di depan DPR dalam rangka menyambut HUT RI ke-63 terutama pada topik pemberian beasiswa kepada para pelajar peraih medali emas olimpiade sains tingkat dunia. Mereka akan diberi beasiswa untuk belajar di universitas manapun di dunia sampai tingkat doktor. Sebuah kebanggaan semu yang tidak layak untuk diperdengarkan di kalangan pelajar. Bagaimana dengan para pelajar terbaik tingkat nasional, pelajar terbaik tingkat propinsi, pelajar terbaik tingkat kabupaten / kota, pelajar terbaik tingkat kecamatan, pelajar terbaik tingkat kelurahan / desa, pelajar terbaik tingkat sekolah dan pelajar terbaik tingkat kelas ? Bukankah mereka juga berhak mendapat beasiswa sebagai penghargaan dan motivasi belajar mereka ? Sebuah prestasi menjadi pelajar terbaik di kelasnya yang hanya diajar oleh guru honorer bergaji pas-pasan di pedesaan jauh lebih layak untuk diberi penghargaan berbentuk beasiswa daripada prestasi gemilang medali emas tingkat dunia yang diajari oleh seorang YS. Mengapa demikian ? Karena pelajar terbaik tingkat kelas di pedesaan tersebut akan menjadi tulang punggung pembangunan daerahnya sementara para pelajar berprestasi dunia tersebut kemungkinan besar akan disia-siakan oleh negeri ini seperti kita telah mensia-siakan banyak putra – putri terbaik bangsa karena mereka lebih dihargai oleh bangsa asing dengan memberi penghargaan dan pekerjaan / penghidupan yang layak untuk kualitas yang mereka miliki. Sementara di negeri mereka sendiri mereka harus berenang di lumpur dosa dan malah mungkin akan menjadi tumbal / korban pemberantasan korupsi.

Senja kian temaram. Azan magrib bergema di langit berselimutkan kabut asap. Dan hatikupun semakin gelap. Segelap langit yang tak lagi biru.

Selamat malam Indonesiaku.

Salam reformasi.

Rahmad Daulay

18 november 2009

***** .   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar