Sertifikat Badan Usaha/SBU
merupakan berkas administrasi terpenting di samping Ijin Usaha Jasa
Konstruksi/IUJK. SBU merupakan salah satu persyaratan tender proyek konstruksi.
SBU telah mengalami beberapa kali perubahan dalam rangka penyempurnaan.
Penyempurnaan terakhir diatur dalam Peraturan Menteri PU nomor 08/PRT/M/2011
tentang Pembagian Subklasifikasi dan Subkualifikasi Usaha Jasa Konstruksi yang
ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Kepala Badan Pembina Konstruksi Kementrian
PU nomor IK.0201-Kk/978 tanggal 30 Desember 2013 perihal Pemberlakuan
Klasifikasi dan Kualifikasi Usaha Jasa Konstruksi Pada Pelaksanaan Pengadaan
Pekerjaan Jasa Konstruksi Untuk Tahun Anggaran 2014.
Sayang sekali sosialisasi
terhadap Permenpu 08 dan SE 0201 ternyata tidak maksimal yang mengakibatkan
proses konversi SBU juga tidak maksimal. Diprediksi bom waktu akan meledak pada
tender dan tanda tangan kontrak pada saat melintasi batas waktu 30 juni 2014 di
mana pada tanggal itu SBU lama tidak akan berlaku dan yang berlaku adalah SBU
konversi.
Tidak perlu lagi dianalisa
bagaimana proses sosialisasi yang telah dilakukan. Saya sendiri melihat
lemahnya sosialisasi salah satunya adalah akibat struktur Lembaga Pengembangan
Jasa Konstruksi/LPJK yang hanya sampai di tingkat wilayah propinsi. Sementara anggota
LPJK yang terdiri dari badan usaha jasa konstruksi dan tenaga ahli/tenaga
trampil jasa konstruksi sebagian besar ada di kabupaten/kota. Di tingkat
kabupaten/kota memang ada Tim Pembina Jasa Konstruksi/TPJK Kabupaten/Kota namun
keberadaan dan eksistensinya ternyata hidup segan mati tak mau. Ini dikarenakan
TPJK beranggotakan para kepala dinas yang memiliki proyek konstruksi seperti
kepala dinas PU, kepala dinas Pendidikan, kepala dinas Perhubungan, kepala
dinas Pertambangan dan lainnya. Perhatian, konsentrasi, energi dan waktu para
kepala dinas ini justru tersedot pada pelaksanaan proyek APBD dengan segala
hiruk pikuknya sehingga tugas dan tanggung jawab sebagai anggota TPJK menjadi
terabaikan dan terlupakan.
Saya melihat bahwa seharusnya
sebagian tugas dan fungsi LPJK Daerah bisa didelegasikan kepada TPJK
Kabupaten/Kota. Masalahnya adalah kelembagaan TPJK Kabupaten/Kota masih di
bawah bayang-bayang pemda. Oleh karena itu perlu dilakukan restrukturisasi kelembagaan
dengan memisahkan TPJK kabupaten/kota dari pemda kepada lembaga struktural
vertikal dari LPJK Daerah. Sedangkan pendanaan TPJK Kabupaten/kota diwajibkan
dari APBD yang besarannya ditentukan kemudian. Struktur keanggotaan TPJK
kabupaten/kota jangan lagi beranggotakan para kepala dinas yang memiliki proyek
jasa konstruksi tapi keanggotaannya menyerupai keanggotaan LPJK Daerah yaitu
berunsurkan wakil asosiasi perusahaan jasa konstruksi, wakil asosiasi profesi
jasa konstruksi, unsur pemerintah daerah, unsur perguruan tinggi.
Sedangkan kaitan antara LPJK
Nasional -TPJK Nasional dan LPJK Daerah-TPJK Propinsi dilebur saja jadi satu. Selain
untuk memudahkan koordinasi dan meningkatkan mobilitas juga untuk menghemat
anggaran negara.
Adapun payung hukum terhadap
vertikalisasi TPJK kabupaten/kota di bawah LPJK Daerah bisa dengan melakukan
perubahan terhadap Peraturan Pemerintah nomor 30 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi terutama pada pasal 12 dan 13.
Harus disadari bahwa sistem dan
struktur yang stagnan akan membuat lambannya pergerakan birokrasi. Sistem dan
struktur harus dirubah untuk memaksimalkan pergerakan roda birokrasi. Jangan
sampai birokrasi yang lamban menyebabkan badan usaha jasa konstruksi yang
menanggung akibatnya. Dan jangan sampai penyempurnaan peraturan berujung pada
chaos tender.
Salam konstruksi
Rahmad Daulay
26 mei 2014.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar