Selasa, 04 Desember 2012

12 Tahun UU Jasa Konstruksi



Ketika pertama kali berkenalan dengan UU nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, pasal paling menarik adalah pasal tentang kegagalan bangunan dan pembinaan.

Dimulai dari kegagalan bangunan. Sepintas istilah ini berbau istilah kesehatan, menyerupai istilah gagal ginjal, gagal jantung, gagal fungsi. Entah kenapa memakai istilah kegagalan bangunan, kenapa bukan kehancuran bangunan yang tentunya akan lebih mudah dicerna oleh pikiran kaum awam.

Kejadian paling mutakhir tentang kegagalan bangunan adalah amblasnya Jl Martadinata Jakarta dan jebolnya Bendungan Situ Gintung. Ada beberapa komentar yang mempertanyakan kenapa tidak ada satupun pejabat terkait yang dinyatakan bersalah padahal sekilas telah terjadi kerugian negara, padahal pada beberapa kasus konstruksi di daerah ternyata hanya dengan jalan baru yang berlobang sedikit saja yang kemudian diadukan oleh pihak pemerhati sosial kepada penegak hukum ternyata sanggup membuat babak belur dinas terkait di pemerintahan daerah, bahkan di antaranya ada yang masuk penjara.


Tentunya sebagai pusat dari segalanya maka pemerintah pusat yang berdomisili di Jakarta memiliki tingkat kesadaran hukum yang lebih tinggi dibanding dengan pemerintah daerah. Sehingga dalam menyikapi suatu permasalahan mereka lebih matang dan dewasa serta lebih objektif. Amblasnya Jl Martadinata Jakarta disikapi dengan menerapkan UU Jasa Konstruksi di mana kegagalan bangunan kesalahannya ditentukan oleh Tim Penilai Ahli yang akan menentukan pihak mana yang bersalah, apakah pihak konsultan perencana, konsultan pengawas, pelaksana konstruksi/kontraktor, pemilik pekerjaan (instansi pemerintah terkait) atau faktor lain seperti faktor alam misalnya. Dalam hal ini Tim Penilai Ahli menyatakan bahwa faktor alam (air laut) menjadi penyebab ambalsnya Jl. Martadinata Jakarta sehingga semua pihak tidak ada yang disalahkan apalagi dihukum penjara.

Bagaimana dengan jebolnya Situ Gintung ? Masalah ini juga disikapi secara UU Jasa Kostruksi di mana Situ Gintung sudah lepas dari masa pertanggungan kegagalan bangunan sehingga tidak ada satu pihakpun yang dinyatakan bersalah.

Berbeda dengan kondisi di daerah, di samping kualitas SDM yang nauzubillah, tingkat kesadaran hukumnya juga rendah. Sehingga apabila terjadi kasus kegagalan bangunan baik dalam skala kecil maupun besar, selalu disikapi dengan peraturan pidana dan selalu pihak dinas terkait (kepala dinas, pimpro, panitia tender, bendahara) yang selalu menjadi korban kejamnya penegakan hukum salah kaprah.

Atas semua ini, siapa yang harus disalahkan ? Pemerintahkah ? Penegak hukumkah ? Kontraktorkah ?

Kita semua berkontribusi dalam kesemrawutan ini. Kita semua bertanggung jawab terhadap penyelesaian hal ini.

Dari manakah memulainya ?

Bagaimanapun juga UU Jasa Konstruksi sudah sedemikian bagus. Permasalahannya adalah UU ini belum mendarah daging di beberapa pihak. Untuk ini maka pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan jasa konstruksi dan permasalahannya harus menjalani terapi khusus dalam artian pembinaan dan internalisasi harus dilakukan. Dimulai dari pembinaan terhadap pejabat instansi konstruksi seperti dinas PU, asosiasi pengusaha konstruksi, asosiasi tenaga ahli/trampil konstruksi dan penegak hukum.

Pada prakteknya, mereka lebih familier dengan Keputusan Presiden nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang sekarang telah digantikan oleh Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Atas dasar pemikiran tersebut maka pada beberapa kali forum workshop penyusunan rancangan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tersebut saya mengusulkan pencantuman pasal kegagalan bangunan di dalamnya yang ternyata tidak terakomodir.

Bagaimanapun juga UU Konstruksi yang diterjemahkan salah satunya dengan Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang telah mengalami satu kali perubahan yang di dalamnya mengatur tentang kegagalan bangunan masih bersifat sangat umum. Untuk itu tentunya perlu penterjemahan yang lebih jauh dan rinci tentang tata cara pelaksanaan dan penerapan peraturan kegagalan bangunan baik itu di tingkat peraturan presiden ataupun peraturan di tingkat menteri untuk kemudian disosialisasikan dan diwajibkan untuk diterapkan di semua intansi pemerintahan terutama di pemerintahan daerah. Dan untuk menjamin penerapannya maka seharusnya BPK ditugaskan untuk memeriksa penerapannya pada saat audit rutin.

Selain kegagalan bangunan, maka hal menarik dalam UU Jasa Konstruksi satunya lagi adalah tentang pembinaan jasa konstruksi.

Pembinaan jasa konstuksi pada pihak penyedia jasa konstruksi dilaksanakan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) yang keanggotaannya terdiri dari unsur pemerintah, asosiasi jasa konstruksi, asosiasi tenaga ahli/trampil konstruksi dan perguruan tinggi. LPJK memiliki struktur di pusat dan di daerah tapi hanya sampai tingkat propinsi saja, tidak ada di kabupaten/kota. Dengan struktur seperti ini tentu keterbatasan rentang kendali ke kabupaten/kota akan mengakibatkan kurangnya pembinaan terhadap kontraktor dan konsultan di kabupaten/kota yang tentunya akan berdampak pada kualitas hasil pekerjaan konstruksi. Maka dari itu perlu kiranya dipikirkan kembali untuk membentuk struktur LPJK di tingkat kabupaten/kota.

Pembinaan jasa konstruksi untuk intern pemerintahan dijalankan oleh Tim Pembina Jasa Konstruksi (TPJK). Keberadaan TPJK ini berdasarkan Surat Edaran Mendagri tahun 2006 yang kalau menurut saya bertentangan dengan Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi yang menyatakan menteri/gubernur/bupati/walikota menunjuk unit kerja untuk melaksanakan pembinaan jasa konstruksi. Saya mengartikannya bahwa ada unit kerja yang khusus melaksanakan pembinaan jasa konstruksi, bukan dalam bentuk TPJK yang merupakan kumpulan pimpinan instansi yang pada prakteknya tidak pernah menjalankan tugas pembinaan jasa konstruksi. Untuk itu maka Surat Edaran tentang pembentukan TPJK harus direvisi dan diluruskan kembali sesuai dengan amanah PP nomor 30 tahun 2000 tersebut. Departemen PU sendiri membentuk Badan Pembina Konstruksi sebagai pelaksana pembinaan jasa konstruksi di tingkat pusat. Pada beberapa pemerintah daerah memang telah membentuk struktur/unit kerja pembina jasa konstruksi, baik itu yang berdiri sendiri atau menempel pada dinas PU. Namun sebagian besar pemerintah daerah hanya membentuk TPJK dan tidak pernah beraktifitas.

Penerapan UU Jasa Konstruksi harus merupakan prioritas dalam perumusan program dan kegiatan APBN/APBD tahun anggaran 2012 di bidang jasa konstruksi.

UU Jasa Konstruksi pada tahun ini telah berumur 12 tahun. Maka pada tahun 2012 harus menjadi tahun emas pelaksanaan penerapan UU Jasa Konstruksi terutama tentang penerapan kegagalan bangunan dan pembinaan jasa konstruksi.

Jangan sampai tahun 2012 yang pada saat itu UU Jasa Konstruksi berumur 13 tahun menjadi tahun celaka sesuai dengan konotasi angka 13.

Selamat ulang tahun ke-12 UU Jasa Konstruksi.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

1 Oktober 2011.

*   *   *     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar