Warteg akan
dikenakan pajak ??? He... he.... aja –
aja ada deh.
Pajak warteg menunjukkan betapa negara masih belum mampu menarik pajak
secara maksimal dari para pengusaha kelas kakap sehingga timbul pemikiran untuk
tarik saja pajak dari pengusaha paling lemah yaitu warteg.
Bisa saya bayangkan ketika para petugas pajak mencoba menarik pajak dari
pengusaha warteg yang pada umumnya ibu – ibu, bisa – bisa akan terkena sumpah
serapah.
Terlepas dari itu semua, perlu waktu untuk kita semua tentang kewajiban
bayar pajak dari warteg. Alih – alih untuk dikenakan pajak, seharusnya warteg
sebagai pengusaha lemah harusnya dibantu permodalannya dan dibebaskan dari
segala macam pajak.
Tapi saya ingin melihat dari sisi lain. Kenapa sebagian warteg pada daerah
tertentu secara sukarela membayar pajak preman. Tak lain dan tak bukan karena
adanya azas saling membutuhkan antara pengusaha warteg dan preman. Pengusaha
warteg ingin usahanya aman dan bebas dari segala macam gangguan. Preman butuh
makan dan rokok, serta ngopi. Toh pajak preman tidak menyusahkan. Yang penting
aman, demikian pikir pengusaha warteg.
Artinya secara teknis dan niatan, pajak warteg sebenarnya masuk akal dan
sah – sah saja. Apalagi
apabila warteg bersedia membayar pajak tentu akan sangat berguna dalam
mendongkrak pendapatan negara dari sektor pajak. Namun, perlu waktu bagi negara
untuk menciptakan rasa percaya masyarakat terutama pengusaha warteg bahwa pajak
yang akan mereka bayar akan berguna bagi mereka. Dan ini tidak mudah, di tengah
gencarnya pemberitaan tentang bang Gayus dan skandal pajaknya.
Untuk tahap awal bisa dengan cara menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat
untuk membelanjakan sendiri secara kelompok semua total pajak yang mereka
bayarkan. Bisa saja untuk kebersihan lingkungan, fasilitas desa, sekolah di
sekitarnya atau koperasi unit desa. Dengan cara ini akan terlihat jelas bahwa
pajak yang mereka bayarkan ternyata berguna untuk mereka sendiri.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
9 desember 2010.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar