Jumat, 07 Desember 2012

E-voting dan Pemilu 2014



Dalam pemilihan wakil rakyat maupun pemilihan presiden / kepala daerah yang dipilih secara langsung, masalah yang selalu timbul pasca pengumuman hasil pemilu / pemilukada adalah protes dari peserta yang kalah yang menuduh pemenang melakukan kecurangan dalam hal jumlah suara. Biasanya suara pemenang dituduh curang akibat penggelembungan suara, suara fiktif, suara dobel, TPS fiktif dan lainnya yang semuanya bermuara pada angka – angka pemilih.


E-voting pada pemilihan kepala desa telah diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana Bali. Dengan berbasis pada sistem administrasi kependudukan maka e-voting dijalankan. Edukasi terhadap masyarakat berjalan cukup bagus. Tak perlu pemahaman teknologi yang muluk – muluk untuk membuat masyarakat mengerti dan pandai melaksanakan e-voting. Cukup dengan menjadikan KTP sebagai kartu pemilih, tekan jempol untuk mencocokkan sidik jari, kemudian sentuh gambar pilihan maka selesailah sudah pencoblosan ala e-voting. Prakteknya jauh lebih mudah dari menyimpan nomor HP atau memakai ATM. Kala itu Bupati Jembrana akan menerapkan e-voting pada pemilukada Kabupaten Jembrana namun ditolak KPUD dengan alasan tidak didukung UU Pemilukada. Kalau tidak salah Bupati Jembrana telah melakukan permintaan perubahan UU Pemilukada dengan memberi peluang penerapan e-voting pada pemilukada yang hasilnya sampai sekarang saya tidak tahu. Dan pada tulisan berjalan di TV swasta pernah saya baca bahwa Kementrian Ristek sedang mendesain sistem e-voting untuk diterapkan pada pemilu 2014. Mudah-mudahan berhasil.

Bagaimanapun juga dalam hitung – hitungan di atas kertas, penerapan e-voting akan meniadakan kecurangan dalam pemilu maupun pemilukada.

Selain kecurangan suara, masalah krusial pemilu / pemilukada adalah kualitas calon, baik itu kualitas calon legislatif DPR / DPRD maupun kualitas calon presiden / calon kepala daerah. Persyaratan pencalonan yang terlalu mudah namun mahal. Hanya dengan berbekal persyaratan administratif dan dukungan partai maka jadilah mereka sebagai calon resmi. Sudah kita lihat bagaimana mengenaskannya kualitas beberapa legislatif dan beberapa kepala daerah. Untuk itu sudah muncul ide standarisasi calon legislatif pusat / daerah dan calon presiden / kepala daerah dengan menambahkan persyaratan harus lulus testing administrasi dan psikotes. Lembaga yang menjadi juri / penesting bisa diserahkan kepada gabungan tim dari beberapa perguruan tinggi yang terbaik. Kalau ini dijalankan maka calon – calon yang tidak berkualitas namun memiliki banyak duit akan gugur dan tidak bisa ikut bermain. Dan ini akan memberi peluang kepada para putra terbaik bangsa ini untuk menjadi wakil rakyat maupun kepala daerah.

Wajah bopeng wakil rakyat dan kepala daerah masa lalu harus dirobah secara sistemik dan diterapkan secara praktis. Atau akankah wajah demokrasi akan terus kita serahkan kepada mekanisme pasar yang pada umumnya ditentukan oleh suara rakyat yang kelaparan dan membentuk lahirnya teori demokrasi terbaru yang namanya DEMOKRASI 100 RIBU ???

Salam reformasi

Rahmad Daulay

22 september 2010

*   *   *  

1 komentar:

  1. Kita memang sering dikalahkan oleh aturan/Undang-undang yang dibuat oleh orang yang tidak memahami masalah. Jika mau melakukan sesuatu sebaiknya dilihat dari kemanfaatannya. Bukan tidak melangkah gara-gara tidak ada undang-undang. Ini penyakit masyarakat indonesia, sedikit-sedikit bertanya "mana dasar hukumnya"? belum ada undang-undang dsb.
    Kalau itu bisa mencegah kecurangan maka tentu akan sanga6t bagus. Soalnya orang seringkali takut dengan langkah-langkah yang akan merugikan dirinya. hanya yang tidak jujur yang akan takut dengan e-vote. Karena ia tidak akan bisa lagi merekayasa hasil pemilu.

    BalasHapus