Mengatasi
kemacetan adalah tantangan utama kepemimpinan Jokowi – Ahok.
Kemacetan
terjadi dikarenakan jauhnya jarak antara tempat asal dan tempat tujuan yang
ditempuh dengan angkutan darat baik itu kenderaan pribadi maupun kenderaan
angkutan umum. Tidak nyamannya angkutan umum dalam berbagai aspek membuat
sebagian masyarakat lebih menyukai kenderaan pribadi, toh sama macetnya dan
sama tua-tua di jalan. Perbandingan antara jumlah kenderaan dan luas jalan
sudah tidak sebanding lagi. Maka terjadilah macet, terutama pada jam tertentu.
Jakarta
memang sudah terlanjur menjadi pusat segalanya, baik bisnis, mode,
pemerintahan, organisasi, industri, pendidikan, tujuan perantauan dan lainnya.
Sedangkan pemain di dalamnya terutama yang datang dari daerah ternyata tidak
tinggal di Jakarta. Padahal seandainya status pusat segalanya bisa dikurangi
sebagian, seperti pusat pemerintahan, pusat industri, pusat organisasi,
pendidikan tinggi bisa dipindah ke luar Jakarta, maka beban Jakarta akan jauh
berkurang. Sudah saatnya tata ruang Jakarta dikaji ulang dengan mengedepankan
tata ruang megapolitan Jabodetabek. Beberapa aspek seperti pemerintahan,
industri, organisasi, pendidikan tinggi sudah waktunya untuk dikeluarkan dari
Jakarta. Dan penataan ruang baru harus mengkaji kemungkinan untuk mendekatkan
tempat permukiman dengan tempat bekerja / beraktifitas seperti komplek industri
dengan komplek perumahannya, komplek pemerintahan dengan komplek perumahannya,
komplek pendidikan tinggi dengan komplek kostnya, demikian seterusnya. Hal ini
akan memperpendek jarak rumah dan tempat beraktifitas sehingga kemacetan
Jakarta bisa dikurangi. Namun ini hanya akan bisa direalisasikan dalam jangka
menengah.
Untuk
jangka pendek, maka pilihan yang paling realistis adalah sarana transportasi
masal seperti MRT, monorail, busway, kereta api jarak dekat dan lainnya. Yang
jadi pertanyaan adalah apakah sarana transportasi masal ini akan digunakan oleh
para anggota masyarakat kelas menengah ke atas ? Yang dikhawatirkan adalah
hanyalah pemindahan sarana transportasi dari angkutan umum biasa ke angkutan
masal dalam artian hanya akan digunakan sebagian kecil anggota masyarakat kelas
menengah dan sebagian besar anggota masyarakat kelas bawah. Ini salah satu
tantangan yang harus dikaji dan dihadapi. Dalam hal ini perlu kebijakan pajak
progressif terhadap pemilik kenderaan yang lebih dari satu. Juga pemaksaan
terhadap mobil mewah untuk mengkonsumsi BBM nonsubsidi.
Sarana
transportasi masal dikhawatirkan akan gagal terealisasi, terlihat dari beberapa
pertemuan yang dilakukan oleh Gubernur Jokowi dengan beberapa pihak. Terlepas dari
peluang dan tantangan yang ada, usaha Gubernur Jokowi patut mendapat acungan
jempol. Namun yang jadi permasalahan adalah apakah harus Jokowi – Ahok saja
yang harus memikirkan realisasi sarana transportasi masal ini ? dalam artian
apakah kemacetan Jakarta hanya jadi beban Jakarta saja ?
Bila
memang kemacetan Jakarta hanya jadi beban Jakarta saja dan harus diselesaikan
oleh Jokowi-Ahok saja maka percayalah takkan pernah ada realisasi sarana
transportasi masal. Apalagi dari beberapa pertemuan terlihat masalah jangka
waktu pengembalian modal yang menjadi fokus utama investasi menjadi
permasalahan krusial. Artinya nilai ekonomis sarana angkutan masal menjadi
pertanyaan penting.
Haruskah
sarana transportasi masal dipandang dalam kacamata investasi dan bisnis ?
Kenapa tidak dipandang sebagaimana kita memandang sarana kereta api yang full
subsidi ?
Sarana
transportasi masal hanya bisa direalisasikan dalam kacamata sosial dan subsidi.
Sarana transportasi masal hanya bisa diwujudkan dalam perspektif megapolitan
Jabodetabek. Malah saya melihat bahwa sarana transportasi masal adalah masalah
nasional yang harus ditangani pemerintah pusat.
Maka
sudah waktunya pemerintah pusat baik kementrian maupun BUMN dengan seluruh
gubernur megapolitan Jabodetabek untuk duduk bersama membicarakan sarana
transportasi masal ini dalam kerangka fungsi sosial negara terhadap rakyatnya. Toh
nantinya kegunaan dari sarana transportasi masal ini akan dinikmati oleh
semuanya baik dalam rangka kepentingan nasional maupun kepetingan Jabodetabek.
Penanganan
sarana transportasi masal ini harus ditangani oleh satu BUMN mirip KAI yang
sahamnya serta subsidinya ditangani bersama oleh pemerintah pusat melalui
kementrian terkait serta pemerintah propinsi seJabodetabek. Bila perlu
pemerintah pusat menggunakan fasilitas pinjaman luar negeri jangka panjang
untuk mendanainya. Hanya dengan begini sarana transportasi masal bisa
diwujudkan dalam bentuk dan fungsi sosial negara kepada rakyatnya. Subsidi ini
bisa saja pemindahan dari subsidi BBM yang mana apabila sarana transportasi
masal ini terealisasi maka salah satu dampaknya adalah berkurangnya jumlah
pemakaian kenderaan dan berkurangnya kemacetan yang berarti berkurangnya
konsumsi BBM dan pastinya juga berkurangnya subsidi BBM.
Lupakan
saja investasi karena tidak sebanding dengan nilai ekonomisnya.
Salam
reformasi.
Rahmad
Daulay
7
desember 2012.
·
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar