Selasa, 04 Desember 2012

10 Tahun UU Jasa Konstruksi



Tanpa terasa UU nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi telah berumur 10 tahun pada 7 mei yang lalu. Sebuah umur yang kalau dihitung secara politik telah melalui 2 periode pemilu atau pilkada. Dan hampir sama tuanya dengan reformasi.

Pertanyaan pertama yang menggelisahkan batin saya adalah berapa banyakkah atau berapa sedikitkah para pelaku jasa konstruksi, mulai dari birokrat jasa konstruksi (kepala dinas, pejabat pembuat komitmen / pimpro, panitia lelang), perusahaan pelaksana jasa konstruksi, perusahaan konsultan jasa konstruksi, tenaga ahli konstruksi, tenaga trampil konstruksi dan yang tak kalah pentingnya adalah penegak hukum, yang sudah kenal dan paham tentang UU Jasa Konstruksi tersebut ?


UU Jasa Konstruksi memang kalah keren dibanding dengan Keppres nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah. Juga kalah keren dibanding dengan Permendagri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Tapi yang harus diingat adalah pengadaan barang / jasa pemerintah dan pemakaian anggaran negara / daerah didominasi oleh proyek jasa konstruksi, mulai dari bidang sipil, bidang arsitektur, bidang tata lingkungan, bidang mekanikal dan bidang elektrikal.

Kenapa UU Jasa Konstruksi yang begitu mulia ternyata tidak teraplikasi dengan baik di lapangan ?

Banyak analisa yang berkembang tentang hal ini. Namun saya melihat penyebabnya adalah tidak adanya konsistensi antara UU Jasa Konstruksi dengan peraturan turunannya. Sebagai contoh : UU Jasa Konstruksi pasal 35 mengatur tentang pembinaan jasa konstruksi, diatur lagi dengan Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi pasal 13 menyatakan bahwa menteri / gubernur / bupati / walikota menunjuk unit kerja untuk melaksanakan pembinaan jasa konstruksi. Yang oleh Menteri Dalam Negeri lewat surat nomor 601 / 476 / SJ tanggal 13 maret 2006 menyatakan bahwa pembinaan jasa konstruksi dilaksanakan oleh unit kerja pembina jasa konstruksi yang terdiri dari para pejabat dari instansi yang membidangi pembinaan jasa konstruski. Saya melihat bahwa spirit yang dibawa oleh UU Jasa Konstruksi dan PP no 30 / 2000 adalah adanya unit kerja khusus yang membidangi pembinaan jasa konstruksi sebagaimana halnya BPKSDM (Badan Pembinaan Konstruksi dan SDM) yang ada di Departemen PU, bukan seperti spirit yang dibawa oleh Menteri Dalam Negeri lewat surat edaranya pada surat nomor 601 / 476 / SJ tanggal 13 maret 2006 yang mengarah pada pembentukan tim pembina jasa konstruksi di daerah yang mana pada prakteknya tim tersebut tidak pernah berfungsi dengan baik. Perlu diatur lebih jauh untuk mewajibkan pemerintah daerah membentuk struktur seperti BPKSDM Departemen PU agar pembinaan jasa konstruksi bisa berjalan dengan baik.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah pada pasal 8, 9 dan 10 UU Jasa Konstruksi yang mengatur tentang persyaratan usaha, keahlian dan keterampilan. Mayoritas tenaga ahli dan tenaga trampil konstruksi berada di daerah kabupaten. Sementara lembaga sertifikasi keahlian dan keterampilan konstruksi berada di perkotaan ibu kota propinsi. Ini menyebabkan sebagian besar tenaga ahi dan tenaga trampil konstruksi belum menjalani sertifikasi. Kesenjangan ini perlu diperbaiki dengan percepatan akreditasi bagi lembaga diklat di daerah kabupaten agar bisa melakukan sertifikasi keahlian dan keterampilan konstruksi. Lembaga seperti BLK, SMK teknik dan lembaga kursus teknik swasta bisa jadi wadah sertifikasi keahlian dan keterampilan kerja konstruksi di daerah kabupaten.

Sampai saat ini turunan terendah dari UU Jasa Konstruksi adalah Peraturan Menteri PU nomor 43 tahun 2007 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanan Jasa Konstruksi. Satu hal yang terpenting dari peraturan ini dan bisa menjawab carut marutnya kualitas insfrastruktur daerah adalah konsep tentang kegagalan bangunan. Konsep ini hampir tidak pernah dijalankan di daerah. Di samping memang penyebab kegagalan bangunan merupakan masalah yang sangat komplek, juga secara konsep dia masih sangat terlalu umum sehingga masih harus dikembangkan dan diterjemahkan lagi secara khusus dan operasional. Proyek yang tak beres pengerjaannya dan kualitasnya yang rendah seharusnya bisa diselesaikan dengan konsep kegagalan bangunan berikut sangsi – sangsi yang menyertainya.

Masih diperlukan banyak aturan operasional di tingkat menteri dan beberapa standarisasi teknik jasa konstruksi dan ini harus terus dikembangkan secara nasional.

Selamat ulang tahun UU Jasa Konstruksi.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

24 September 2009

*  *  *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar