Bencana datang lagi. Kali ini
gunung merapi dan gempa tsunami pulau Mentawai mendera saudara – saudara kita. Birokrasi
pusat dan daerah yang bertugas untuk menangani bencana seperti tergagap
menjalankan tugasnya. Untuk sementara kambing hitamnya adalah faktor alam, peralatan
yang sudah usang, keterbatasan dana, birokrasi tata kelola keuangan negara yang
tidak lincah, pengadaan barang / jasa yg dibutuhkan yg berbelit – belit, SDM
yang tidak terlatih dan berbagai alasan lainnya yang membuat miris para
pengamat.
Harus diakui bahwa faktor alam
cukup memberi kontribusi dalam lambannya penanganan pasca bencana. Tidak semua
posisi bisa dilalui kenderaan, sebagian besar hanya bisa dicapai dengan
berjalan kaki yang jaraknya bisa mencapai puluhan kilometer.
Harus diakui bahwa sebagian besar
peralatan baik peralatan deteksi bencana, peralatan transportasi serta alat
berat ternyata sudah usang dan berumur. Apalagi ternyata terbukti sebagian di
antaranya ternyata rusak akibat vandalisme masyarakat sendiri.
Harus diakui bahwa pendanaan sangat terbatas jumlahnya. Anggaran pemerintah
pusat lebih terfokus untuk membiayai studi banding dan biaya belanja pegawai.
Sementara anggaran pemerintah daerah lebih terfokus pada pembiayaan infrastruktur.
Pemerintah pusat merasa bahwa pemerintah daerahlah yang bersentuhan langsung
dengan wilayah bencana. Sementara pemerintah daerah merasa bahwa penanganan
bencana bukanlah ranah otonomi daerah karena tidak menguntungkan bagi mereka.
Harus diakui bahwa birokrasi tata kelola keuangan negara sangat tidak
lincah untuk menguncurkan bantuan dana karena harus melalui prosedur
administrasi yang nauzubillah, dan selalu akan bermasalah secara hukum di
kemudian hari.
Harus diakui bahwa mekanisme pengadaan barang / jasa yang dibutuhkan masih
harus melalui prosedur sehingga barang / jasa yang menggunakan anggaran negara
selalu terlambat datang. Orang sudah mati baru barang bantuan datang.
Harus diakui bahwa SDM penanganan bencana dari unsur sipil ternyata sangat tidak
terlatih menangani bencana. Yang terlatih hanya unsur TNI / Polri dan tim SAR.
Konyolnya, ternyata PNS daerah yang tidak terlatih tersebut malah dikerahkan
menjadi tim inti penanggulangan bencana, mungkin karena murah dan gratis
tinggal nyuruh – nyuruh anak buah sendiri. Apalagi instansi Badan
Penanggulangan Bencana Daerah bukanlah instansi favorit dan tidak jarang hanya
menjadi tempat penampungan para pejabat yang terpinggirkan oleh situasi gesekan
mutasi daerah.
Dan harus diakui bahwa kita belum bisa belajar dari segala bencana yang
sudah kita alami.
Apakah kita akan hanya berhenti pada segala macam pengakuan di atas ???
Atau apakah kita hanya akan berhenti pada keprihatinan akan anggaran studi
banding wakil rakyat yang menyilaukan mata ???
Mari kita serius. Manajemen penanganan bencana harus dibenahi. Dimulai dari
dasar hukum. Harus ada dasar hukum mulai dari tingkat UU sampai pada peraturan
menteri sosial tentang dasar sampai petunjuk teknis / petunjuk pelaksanaan yang
fleksibel dalam pelaksanaannya dan memiliki akuntabilitas yang tinggi. Peraturan
ini harus melahirkan kelembagaan penanggulangan bencana yang kuat dan berenergi
dalam menjalankan tugasnya. Sinergi antara Badan Nasional Penanggulangan
Bencana dengan seluruh Badan Penanggulangan Bencana Daerah harus lebih
ditingkatkan. Harus dibentuk Unit Satuan Tugas Reaksi Cepat Penanganan Bencana
yang dibentuk dan dilatih secara khusus siap setiap saat menangani bencana.
Agar Unit Satuan Tugas Reaksi Cepat Penanganan Bencana ini lebih powerfull dalam
menjalankan tugasnya harus ada koordinasi permanen dengan Satpol PP, Kesbang
Linmas, SAR dan petugas BKO dari TNI / Polri terdekat. Dan peraturan tersebut
harus memiliki mekanisme yang fleksibel dan lincah dalam menguncurkan dana dan
pembelanjaan barang / jasa yang fleksibel. Bila perlu dibuat dasar hukum
pengadaan barang / jasa beli dulu bayar belakangan. Apalagi pada Peraturan
Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang / jasa pemerintah telah
memuat mekanisme e-kataloque yang memuat daftar harga barang nasional yang bisa
dilakukan secara pengadaan langsung. Semua peraturan ini akan dilaksanakan oleh
orang – orang. Maka peraturan sebaik apapun bila menginginkan hasil maksimal
harus dijalankan oleh SDM terbaik di bidangnya. Oleh karena itu harus juga dibuat
peraturan tentang pola rekrutmen dan pola standar pemilihan pejabat daerah di
bidang penanggulangan bencana.
Bagaimanapun juga suburnya tanah nusantara ini tak lepas dari keberadaan
gunung berapi yang beberapa di antaranya akan menyuburkan tanah sekitarnya.
Oleh karena itu diperlukan pengaturan tata ruang permukiman warga yang akan
mengatur pada radius berapa yang boleh dijadikan wilayah permukiman warga. Bila
perlu wilayah radius rawan letusan gunung berapi dijadikan saja sebagai wilayah
hutan lindung / cagar alam dan masyarakat yang sekarang bermukim di dalamnya
bisa direlokasi ke wilayah yang aman.
Tata ruang pantai juga perlu dibenahi. Tsunami seharusnya bisa dicegah
dengan rekayasa alami dan rekayasa kelautan. Tsunami bisa dipecah sebelum
mencapai daratan. Oleh karena itu tata ruang pantai harus dirancang secara
nasional.
Terhadap gempa juga perlu pengkajian tentang desain dan struktur tahan
gempa. Perlu juga pembekalan dan pelatihan terhadap para pengusaha jasa
konstruksi swasta di daerah tentang bagaimana cara membangun rumah yang relatif
aman terhadap gempa tanpa harus membebani anggaran pemilik rumah. Dan yang tak
kalah penting adalah pemahaman tentang umur bangunan konstruksi.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
2 nopember 2010.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar