Selasa, 04 Desember 2012

Hormon Kebun (Fiksi Politik)


..
(Cerita ini hanya fiksi belaka, namun mengandung harapan terselubung).

Konon kabarnya, pak Fulan, nama samaran, seorang PNS senior, golongan tinggi, di suatu pemda. Seperti biasanya, setiap awal tahun sering mojok di kantin pemda. Mutasi tahunan pemda membuatnya gundah gulana, walau dari segi materi sebenarnya beliau sudah memiliki lebih dari cukup.

Sudah lama kami sering mengharungi dunia kantin sebagai ladang komunikasi baik itu yang bersifat positif maupun negatif.

Pak fulan sudah lama ingin menjadi orang nomor 1 di suatu instansi pemda, namun apa daya beliau selalu “kalah tender” dengan pesaingnya. Sehingga beliau hanya dapat jabatan bukan nomor 1. Dan itu tidak begitu memuaskan batinnya.


Saya mencoba memberinya racun yang berkhasiat tinggi untuk menyembuhkan sakitnya. Dan terjadilah dialog antar kami berdua.

“Gimana bro, daku sudah bosan akan jabatan kelas teri, tapi apa daya, fuluzku tiada mengizinkan dan kalah tender terus”

“Ya, bersabarlah bozz”.

“Gimana bisa sabar, diperintah-perintah orang – orang goblok macam mereka itu, bisanya hanya nyetor dan cari muka. Ngadapi auditor aja tak mampu, tapi pingin jadi pimpinan terus”

”Ya sabarlah bozz”.

”Kamu kasih aku advis dulu”.

”Aku sebenarnya punya advis, dan bisa menyelesaikan masalah fuluz tadi, tapi bozz harus sabar”.

”Apa itu kira-kira, terangkan dengan bahasa yang mudah dicerna, dan jangan mengada-ngada, kalau mengada-ngada bisa kumutasi kau jadi bupati”.

”Begini bozz, fuluz bozz yang ada saat ini diinvest dulu selama 2 – 3 tahun, dan akan bertambah drastis dan jumlahnya cukup untuk memenangkan tender dan meraih impian bozz jadi orang nomor 1 di instansi yang bozz impikan”.

”Tuh, kan, mulai lagi kau dengan bahasa susahmu itu. Terangkan saja dengan bahasa pasaran. Apa itu investasinya”.

”Begini bozz, fuluz bozz saat ini jumlahnya bisa membeli 10 kavling tanah perumahan di wilayah strategis. Tinggal mengkompori orang dinas bina marga untuk mengaspal jalannya, setelah itu harganya akan naik berlipat ganda. Baru 2 – 3 tahun kemudian tanah kavlingan tersebut bozz jual dan hasilnya bisa bozz pake untuk ikut tender dan meraih jabatan yang bozz impikan selama ini”.

Dan dahinyapun berkerut pertanda sedang memikirkan kata-kataku tadi.

”Wah, encer juga dikau punya pikiran”.

Mulailah kami hunting tanah kavlingan. Dan setelah menilai beberapa alternatif tanah yang akan dibeli, pak Fulanpun menjatuhkan pilihan. Sepuluh tanah kavlingan dibelinya secara sah dan meyakinkan.

Beberapa bulan kemudian, kami kembali bertemu di kantin pemda.

”Apa kabar dikau punya diri”.

”Kabar baik bozz”.

”Ada pinjaman dulu?”.

”wah, bozz ini aja – aja ada deh, mestinya saya yang tanya pinjaman ke bozz”.

”Gara – gara dirimu, daku jadi bokek nih”.

”Huh, bozz pelit”.

”biarin”.

Setelah hening sejenak, akupun menyapanya kembali.

”Bozz, daripada nganggur, bagaimana kalau bozz punya tanah kavlingan kita olah saja”.

”diolah apa dikau punya maksud”.

”Ya diolah bozz, ditanamin kamsudnya, bozz kan lihat sendiri harga cabe lagi meroket tinggi mencapai 100 ribu perkilo.”.

”Tapi daku tiada pandai bertani”

“Pokoknya bozz, terima beres aja, asal ada izin, aku yang ngolah, nanti hasilnya kita bagi rata”.

Mulailah tanah 10 kavling tersebut kami tanami berbagai tanaman, mulai dari cabe sampai coklat. Beberapa di antaranya bisa dipanen dalam waktu singkat. Pak Fulan mulai menuai hasil. Dan hasilnya tak tanggung – tanggung, melebihi jumlah amplop, persen, komisi, dan semua bentuk gratifikasi yang selama ini dinikmatinya.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, pak Fulan semakin menikmati panen ladangnya.

Hingga suatu hari, kami kembali bertemu di kantin pemda, dan dia memulai pembicaraan.

“sobat, dikau mau jabatan apa?”

“Walah bozz, daku mana punya fuluz, kalau hutang sih banyak”.

“Pokoknya dikau sebut saja ingin jabatan apa, daku punya fuluz yang akan menyelesaikannya”.

“Lho, bukannya bozz yang berambisi jadi pejabat nomor 1 ?”.

“He.. he... itu kan dulu. Sekarang daku sudah puas jadi bupati cabe saja, tanpa ada hubungan dengan masalah hukum”.

Dan kini pak Fulan hidup dengan tenang tanpa pernah bermimpi jadi pejabat penting lagi. Hormon kebun sudah merasuki seluruh syaraf dan otaknya. Kini kebunnya sudah ratusan hektare.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

2 februari 2011.

*   *  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar