Selasa, 04 Desember 2012

Jakarta Terancam Amblas



Jakarta terancam amblas, ini berita yang sudah cukup lama. Centi demi centi tanah Jakarta mengalami penurunan. Namun amblasnya jl RE Martadinata mengembalikan ingatan tentang ancaman amblasnya Jakarta.

Ditinjau dari segi peraturan UU Jasa Konstruksi, maka amblasnya jalan tersebut termasuk kategori kegagalan bangunan. Kegagalan bangunan bisa disebabkan oleh kesalahan penyedia jasa konstruksi (konsultan perencana konstruksi, pelaksana / pembangun konstruksi ataupun konsultan pengawas konstruksi) ataupun pengguna jasa konstruksi (instansi pemerintah yang membidangi konstruksi). Ataupun malah tidak ada pihak yang disalahkan karena diakibatkan oleh kondisi alam dan lingkungan. Pihak yang diberi hak untuk menentukan siapa yang salah adalah tim penilai ahli. Masa pertanggungan kegagalan bangunan ditentukan oleh konsultan perencana konstruksi dan seharusnya diatur jelas di dalam kontrsk konstruksi.


Penjelasan pada UU Jasa Konstruksi tersebut masih sangat bersifat umum. Peraturan yang lebih rendah yaitu PP no 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi ataupun Peraturan Menteri PU no 43 tahun 2007 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Jasa Konstruksi juga masih sangat bersifat umum. Yang dibutuhkan adalah sebuah pengaturan detil bagaimana menyikapi sebuah kejadian kegagalan bangunan sebagaimana halnya amblasnya jl RE Martadinata. Perlu kiranya pihak terkait terutama Kementrian PU dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional menyusun sebuah Standar Operasi dan Prosedur (SOP) Penanganan Kegagalan Bangunan untuk bisa diterapkan seara praktis baik di pusat dan daerah. Pada pemberitaan di media elektronik terlihat jelas Kementrian PU telah menerjunkan tim penilai ahli untuk meneliti sebab amblasnya jl RE Martadinata. Namun bila kita lihat di pemerintahan daerah, begitu terjadi kegagalan bangunan yang jadi sasaran hukum langsung adalah kepala dinas PU, pimpro, panitia lelang dan pengawas lapangan, sementara konsultan perencana, konsultan pengawas maupun pelaksana pembangunan konstruksi jarang menjadi sasaran hukum. Bahkan tidak ada niat untuk menghadirkan tim penilai ahli. Hal ini jelas menimbulkan ketidak adilan dan ketimpangan penegakan hukum yang berujung pada takutnya para PNS daerah untuk menangani proyek konstruksi.

Di samping itu, perlu juga dilakukan standarisasi perencanaan konstruksi dan pengawasan konstruksi. Perencanaan dan pengawasan konstruksi oleh konsultan konstruksi tanpa standar yang jelas akan berdampak pada kualitas pengerjaan pembangunan konstruksi. Dan di daerah juga harus ditetapkan sebanyak mungkin tim penilai ahli yang diberi kewenangan untuk menentukan pihak mana yang bersalah dalam kasus kegagalan bangunan.

Kembali ke kasus amblasnya jl RE Martadinata Jakarta. Para pakar banyak menyinggung penyebabnya adalah air laut. Artinya faktor lingkungan menjadi penyebab utama. Sudah saatnya semua konsultan perencana konstruksi dan konsultan pengawas konstruksi harus memiliki tenaga ahli lingkungan bersertifikat ahli, terutama untuk proyek rawan lingkungan seperti di Jakarta.

Mudah-mudahan amblasnya jalan tersebut menjadi titik awal pengkajian kembali betapa standar teknis bukan termasuk ranah otonomi daerah. Standar teknis harus ditentukan secara terpusat.

Salam reformasi.

Rahmad Daulay

22 september 2010.

*  *   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar