Jumat, 22 Maret 2013

BBM dan Kreatifitas


Harga BBM sudah naik lagi. Banyak yang marah, sebagian dari perspektif ekonomi karena akan menyebabkan harga kebutuhan pokok akan naik membubung tinggi, sebagian lagi dari perspektif politik karena menjelang pemilu di mana bantuan langsung tunai dianggap sebagai cara pintas untuk mengambil hati masyarakat.
               
Saya sendiri melihat bahwa harga minyak dunia yang membubung tinggi melebihi 120 dollar berbarrel yang menjadi penyebab utama pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM dalam negeri bukan alasan yang kuat untuk memperberat kehidupan rakyat. Dengan menaikkan harga jual BBM di dalam negeri membuktikan bahwa kreatifitas di tingkatan menteri sendiri sudah lenyap. Dari segi kreatifitas politik terlihat betapa komunikasi politik tidak menunjukkan hasil sama sekali. Opini politik memposisikan pemerintah pada penilaian negatif, harga naik, ongkos transpor naik, semua naik, program BLT hanya pemborosan dan tidak mendidik. Opini negatif ini hampir tidak berimbang sama sekali dengan beberapa program positif dari kompensasi kenaikan BBM tersebut. Program pemberdayaan masyarakat dianggap hanya memperkaya segelintir elit desa saja. Program pendidikan dan kesehatan gratis dianggap hanya janji – janji belaka tanpa bukti di lapangan. Opini negatif pada BLT sebenarnya bisa diimbangi dengan memperbesar opini positif pada bidang kesehatan seperti program puskesmas 24 jam atau program 1 dokter perdesa, dan di bidang pendidikan dengan program beasiswa untuk para siswa berprestasi.
   
Saya sendiri melihat kabinet yang dipenuhi oleh para professor dan doktor ini bukannya tidak mampu melahirkan program – program yang kreatif sebagai kompensasi kenaikan BBM tersebut. Kreatifitas yang mereka miliki menjadi beku akibat ketidakefisienan birokrasi yang mereka pimpin. Dan tidak mudah untuk mendobrak ketidakefisienan ini karena minimnya penghargaan terhadap kreatifitas terutama di level bawahan. SDM di tingkat bawahan terdegradasi kreatifitasnya akibat lingkungan birokrasi yang cenderung merusak apa yang baik menjadi tidak baik.
               
Saya melihat bahwa memang subsidi untuk BBM sudah bukan waktunya lagi untuk diberikan. Dulu, hasil ekspor BBM mentah melebihi biaya impor BBM siap pakai. Selisih antara biaya ekspor dan impor ini menjadi sumber untuk mensubsidi harga BBM dalam negeri. Sekarang sudah terbalik. Sudah waktunya subsidi BBM dicabut saja tapi bukan dengan cara yang drastis. Subsidi ini bisa dicabut pelan – pelan, misalnya dengan menaikkan harga BBM sebanyak Rp. 100 perbulan. Atau bila lebih sabar lagi cukup Rp. 50 perbulan. Kenaikan pelan pelan ini takkan memicu kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat juga takkan memancing para spekulan untuk menimbun BBM juga takkan menjadi objek politik.

Di layar TV saya melihat salah seorang mantan demonstran 98 marah – marah menuding pemerintah tidak kreatif, kenapa bukan pajak kenderaan saja yang dinaikkan. Ya, memang. Pengelolaan sumber pajak kita memang belum maksimal. Yang kalau dikelola dengan baik sebenarnya lebih dari cukup untuk mensubsidi BBM bila kita masih ingin mensubsidi terus. Kunci dari maksimalisasi pendapatan negara dari pajak adalah “apa umpannya”. Umpan ini penting. Dan di mana – mana yang namanya umpan pasti gratis. Umpan yang tidak gratis adalah hal yang sangat menggelikan, jauh lebih menggelikan dari acara lawakan TV. Ada dua umpan yang sangat efektif untuk memancing data objek pajak. Yang pertama adalah KTP gratis 100 %, termasuk foto. Yang kedua adalah setifikat tanah dan bangunan gratis, termasuk fotokopinya. Buruknya administrasi kependudukan menyebabkan tidak maksimalnya pengelolaan objek pajak. Data kependudukan yang ada kebanyakan masih manual dan masyarakat mengurus KTP hanya bila ada keperluan. Sudah waktunya dikembangkan sistem informasi manajemen kependudukan berbasis elektronik sehingga data kependudukan yang ada di kecamatan dan kabupaten bisa diakses oleh pengelola pajak. Dan sudah waktunya pelajar SMP untuk diwajibkan memiliki KTP gratis dan NPWP gratis. Setelah memiliki data kependudukan maka langkah selanjutnya adalah sertifikasi tanah dan bangunan gratis. Sesuatu yang gratis akan sangat menarik bagi masyarakat terutama di pedesaan. Banyak tanah dan bangunan masyarakat yang tidak disertifikatkan. Sertifikat ini baru diurus apabila tanah dan bangunan tersebut akan dijual. Apalagi para konglomerat tingkat desa dan kabupaten tersebut ternyata tidak memiliki kesadaran tentang pajak. Dan yang lebih menggelikan lagi ternyata banyak yang tidak mengetahui total luas tanah yang dimilikinya. Apabila data base kependudukan dan objek pajak berupa tanah dan bangunan ini sudah dimiliki maka selanjutnya tinggal melakukan razia objek pajak mana yang belum membayar pajak. Pajak kenderaan tidak pernah tidak dibayar karena ada razia dari aparat keamanan. Sementara objek pajak berupa tanah dan bangunan tidak pernah dirazia.
              
Satu lagi kreatifitas yang terlupakan terkait kenaikan harga BBM ini adalah kurangnya pengkondisian akan arti penting diversifikasi sumber energi. Pemerintah pusat dalam beberapa kesempatan selalu menekankan pentingnya pengembangan sumber energi terbarukan di hadapan para petinggi pemerintah daerah dan sayang sekali pemerintah pusat menyerahkan sepenuhnya pengembangan energi terbarukan tersebut kepada pemerintah daerah tanpa pengkondisian sama sekali padahal potensi energi terbarukan (panas matahari, listrik mikro hidro, angin, ombak, air terjun, dan lain sebagainya) ada di daerah. Sementara itu pemerintah daerah lebih suka menghabiskan anggarannya untuk membangun infrastruktur. Selain karena kapasitas SDM yang tidak punya visi energi, hal ini dikarenakan proyek infrastruktur “hasilnya” lebih jelas. Dan tahun selanjutnya proyek infrastruktur ini tetap dibutuhkan karena proyek yang dikerjakan tahun sebelumnya ternyata sudah harus direhabilitasi akibat kualitas pengerjaan yang amburadul.
              
Bagaimana cara efektif untuk memancing gairah pemerintah daerah dalam mengembangkan sumber energi terbarukan tersebut ?
              
Salah satu cara adalah dengan menempatkan penganggaran pengembangan sumber energi terbarukan tersebut pada pos dana alokasi khusus APBN yang dialokasikan ke daerah. Pemerintah daerah memiliki kecenderungan untuk mengejar penambahan anggaran untuk daerahnya dengan mengejar sumber dana alokasi khusus APBN. Kecenderungan ini adalah peluang besar yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan sumber energi terbarukan tersebut oleh para pemerintah daerah. Dan untuk menjaga kualitas pekerjaan maka harus ditetapkan bahwa konsultan perencana dan pengawasnya adalah yang ditunjuk langsung oleh departemen terkait atau lembaga penelitian perguruan tinggi di daerahnya. Dalam banyak hal, otonomi yang menyerahkan sepenuhnya urusan daerah kepada pemerintah daerah apabila dilakukan tanpa pensiasatan dan pengkondisian maka otonomi akan bergerak tidak sejalan dengan arah gerakan dari pemerintah pusat, termasuk dalam kebijakan energi yang sering dikumandangkan dalam berbagai kesempatan.

Akibat dari kenaikan BBM ini pikiran saya berkembang kemana – mana. Pikiran terburuk saya adalah apabila ternyata sumber energi fosil ini sudah habis terkuras dari perut bumi sementara pengembangan sumber energi bukan fosil ternyata belum maksimal. Kita mungkin bisa mengandalkan energi nuklir atau solar sel namun itu akan sangat mahal bagi sebagian besar masyarakat kelas bawah. Mungkin kita akan kembali ke zaman pedati dan naik kuda.
              
BBMku BBMmu BBM kita juga.
              
Salam reformasi.
              
Rahmad Daulay

24 mei 2008

*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar