Jumat, 22 Maret 2013

Balada Sertifikasi



Ada tiga sertifikasi yang sekarang ini menjadi sorotan publik yaitu sertifikasi guru dan dosen, sertifikasi keahlian pengadaan barang / jasa pemerintah serta sertifikasi keahlian / keterampilan kerja konstruksi. Kenapa sertifikasi yang memiliki tujuan mulia ini berjalan lamban dan tidak seperti yang diharapkan dan malah cenderung dianggap sebagai penghalang ?
              
Sebagai konsekuensi dari keberadaan UU guru dan dosen maka seluruh guru dan dosen wajib memiliki sertifikasi profesi keguruan. Akibatnya, di mana – mana para guru yang belum memiliki pendidikan strata 1 beramai – ramai mengadakan kuliah jarak jauh. Dan beberapa di antara mereka malah mengikuti perkuliahan di luar disiplin ilmu keguruan dan kependidikan. Seolah – olah kalau sudah memiliki tingkat pendidikan strata 1 maka akan bisa mendapatkan sertifikasi profesi keguruan tersebut. Dan ternyata sertifikat profesi keguruan tersebut harus menjalani ujian. Dan ujiannya pada umumnya dilaksanakan di ibukota propinsi sehingga para guru dari daerah harus mengeluarkan biaya transportasi dan penginapan untuk mengikuti ujian sertifikasi profesi keguruan tersebut. Hal ini sangat tidak efektif dan efisien terutama dari segi biaya dan waktu. Perlu ditekankan bahwa para guru, apalagi bagi yang sudah sepuh, tidak perlu memaksakan diri untuk memperoleh sertifikat profesi keguruan tersebut. Walaupun UU guru dan dosen menjanjikan 1 kali lipat gaji bila mendapat sertifikat profesi keguruan tersebut namun pada poin lain juga dijanjikan bahwa selain tunjangan profesi tersebut juga ada tunjangan kesejahteraan guru yang juga 1 kali lipat gaji. Dan untuk menghemat pembiayaan dalam rangka mengikuti ujian sertifikasi profesi keguruan tersebut sebaiknya ujian tersebut dilaksanakan di masing – masing kabupaten dengan memanggil para pihak yang berkompeten dalam proses sertitikasi tersebut ke kabupaten. Mengenai pembiayaan bisa dialokasikan pada APBD masing masing kabupaten. Dengan demikian maka selain penghematan biaya dari peserta sertifikasi juga para guru akan lebih percaya diri apabila ujian dilaksanakan di kandangnya sendiri.


Sertifikasi keahlian pengadaan barang / jasa pemerintah diamanahkan oleh Keputusan Presiden RI nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pengadaan barang / jasa instansi pemerintah pasal 52 ayat 1 yang mewajibkan pengguna barang / jasa (kepala dinas, pimpro) dan panitia pengadaan / lelang / tender untuk wajib bersertifikat keahlian pengadaan barang / jasa paling lambat 1 januari 2006. Dan mengingat jumlah PNS yang lulus sertifikasi tersebut ternyata belum mencukupi baik secara nasional maupun perdaerah maka oleh Peraturan Presiden RI nomor 8 tahun 2006 pasal II ayat 1, 2 dan 3 memperpanjang pewajiban sertifikasi keahlian pengadaan barang /jasa tersebut paling lambat 1 Januari 2007 dan untuk sementara para pengguna anggaran dan panitia pengadaan / lelang / tender hanya wajib memiliki sertifikat pelatihan pengadaan barang / jasa pemerintah. Dan ternyata mengingat jumlah PNS yang lulus sertifikasi tersebut jumlahnya belum mencukupi juga, walau sistem ujiannya sudah dipermudah dengan memperbolehkan buka buku keppres 80 dan tidak ada nilai minus, maka oleh Kementrian PPN / Kepala Bappenas pada tahun ini mengeluarkan surat edaran tentang memperpanjang pewajiban sertifikasi keahlian pengadaan barang / jasa pemerintah tersebut mulai 1 Januari 2009 dan untuk untuk sementara para pengguna anggaran dan panitia pengadaan / lelang / tender boleh memakai sertifikat pelatihan pengadaan barang / jasa pemerintah. Kenapa jumlah PNS yang lulus sertifikasi keahlian tersebut jumlahnya tak pernah mencukupi baik secara nasional maupun perdaerah ? Apakah hal ini dikarenakan kualitas yang tidak sebagaimana yang diharapkan ? Memang ada faktor kualitas yang mempengaruhi, namun saya sendiri melihat faktor utama adalah kesempatan yang tidak ada untuk mengikuti ujian sertifikasi keahlian dikarenakan ujian pada umumnya hanya dilakasanakan oleh pemerintah propinsi dan bertempat di ibukota propinsi. Hal ini akan memberi konsekuensi biaya transportasi dan penginapan bagi peserta dari daerah untuk mengikuti ujian sertifikasi tersebut. Pada beberapa pemerintah kabupaten yang telah memiliki SDM bersertifikat keahlian yang mencukupi dikarenakan pemerintah kabupaten tersebut melaksanakan sendiri ujian sertifikasi tersebut dan mengalokasikan anggaran ujian sertifikasi tersebut pada APBDnya. Maka agar target pemberlakuan sertifikasi keahlian pengadaan barang / jasa tersebut bisa terpenuhi mulai 1 januari 2009 maka pemerintah pusat (sebaiknya oleh Menteri Dalam Negeri) mewajibkan pengalokasian anggaran untuk ujian sertifikasi tersebut pada APBD Perubahan TA 2008 dan seterusnya setiap tahun diwajibkan pengalokasian anggaran tersebut pada APBD masing - masing. Dan untuk menjaga kewibawaan dari pemerintah pusat dalam pewajiban sertifikasi keahlian pengadaan barang / jasa tersebut maka pengunduran waktu pewajiban tersebut pada 1 januari 2009 jangan diperpanjang lagi. Dan bagi pemerintah kabupaten / kota / propinsi yang belum memiliki SDM yang mencukupi yang bersertifikat keahlian maka bagi mereka diwajibkan menjalani pelelangan / tender secara elektronik saja dengan bantuan teknis dari pemerintah propinsi atau pemerintah pusat / departemen. Bagi para PNS yang telah bersertifikat keahlian juga lebih cenderung untuk menjalankan pelelangan elektronik karena pelelangan manual yang selama ini dijalankan tidak pernah memberi jaminan keamanan yang memadai kepada para panitia lelang akibat kontak langsung antara panitia lelang dengan peserta lelang memberikan efek negatif dalam berbagai bentuknya, terutama dari segi keamanan.
              
Dan mengenai sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja konstruksi mengingatkan kita pada proses jatuhnya almarhum SS di jalan berlubang sepanjang 7 meter terseret di lobang jalan tersebut. Dan kematian akibat jalan rusak sebenarnya jumlahnya sangat banyak, kematian alm SS hanyalah puncak gunung es dari kegagalan otonomi di bidang infrastruktur. Pada berbagai kesempatan lembaga – lembaga di bidang jasa konstruksi sering memberitakan bahwa tenaga ahli dan tenaga trampil di bidang konstruksi yang telah bersertifikat keterampilan dan keahlian kerja jumlahnya tidak lebih dari 20 %. Artinya lebih dari 80 % belum menjalani proses sertifikasi. Walaupun proses sertifikasi tersebut belum menjamin kualitas pengerjaan konstruksi namun secara normatif kualitas SDM jasa konstruksi harus tercermin secara administratif dalam selembar sertifikat keterampilan dan keahlian kerja konstruksi. Dalam beberapa kesempatan berdiskusi dengan para pengusaha jasa konstruksi kategori kecil (gred 1 – 4) dapat diperoleh informasi bahwa hambatan sertifikasi keterampilan dan keahlian tersebut adalah biaya. Sertifikasi pada umumnya hanya bisa dilakukan di ibukota propinsi sehingga sudah pasti mengeluarkan biaya transportasi dan penginapan selain dari biaya sertifikasi itu sendiri. Maka timbul pemikiran kenapa proses dan lembaga sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja tersebut tidak diletakkan di kabupaten saja. Banyak lembaga yang memenuhi syarat untuk mengelola proses sertifikasi tersebut. Berdasarkan Peraturan LPJK (lembaga pengembangan jasa konstruksi) bahwa pengelola sertifikasi tersebut bisa dari asosiasi profesi terakreditasi dan bisa dari lembaga diklat terakreditasi. Di kabupaten bisa didirikan lembaga asosiasi profesi baik itu berbasis profesi kerja maupun profesi kesarjanaan seperti Persatuan Insinyur Indonesia cabang kabupaten. Atau dengan mendirikan lembaga diklat terakreditasi di kabupaten baik itu berbasis perguruan tinggi, pendidikan menengah seperti sekolah menengah kejuruan teknis ataupun mendirikan struktur pemerintahan berbentuk balai latihan kerja di bawah dinas tenaga kerja. Dan bila perlu semua lulusan sekolah menengah kejuruan teknik diberikan sertifikasi keterampilan gratis oleh dinas pendidikan setempat. Dan juga yang perlu ditekankan adalah pendefenisian kembali jenis pekerjaan konstruksi sederhana dan komplek jangan dari besaran dananya yang apabila nilai proyek di bawah 1 milyar dianggap pekerjaan sederhana sehingga cukup dikerjakan oleh perusahaaan yang memiliki tenaga konstruksi bersertifikat keterampilan yang hanya tamatan SMK sederajat dan apabila nilai proyek di atas 1 milyar harus dikerjakan oleh perusahaan bertenaga konstruksi bersertifikat keahlian yang tamatan sarjana teknik. Jenis pekerjaan konstruksi sederhana dan komplek harus dipilah dari jenis pengerjaannya dan resiko kegagalan bangunan terhadap keselamatan pemakainya. Bila kegagalan bangunan tidak mengancam keselamatan manusia maka bisa dikategorikan sebagai pekerjaan konstruksi sederhana dan apabila kegagalan bangunan tersebut bisa mengancam keselamatan manusia maka bisa dikategorikan sebagai pekerjaan komplek. Pekerjaan konstruksi bangunan gedung dan jalan umum sudah harus dikategorikan sebagai jenis pekerjaan konstruksi komplek sehingga harus dikerjakan oleh perusahaan bertenaga konstruksi bersertifikat keahlian tamatan sarjana teknik.
              
Sertifikasi yang memiliki tujuan mulia yaitu untuk menandai kompetensi dan kemampuan dalam bidang tertentu dan dituangkan secara administrasi dalam bentuk sertifikat jangan sampai dipandang sebagai beban ekonomi dan bukan bersifat formalitas belaka dan juga bukan sebagai salah satu instrumen penambah kesemrawutan birokrasi pemerintahan pusat dan daerah. Sertifikasi harus mewakili standarisasi dan kualitas SDM dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
               
Salam reformasi.
            
Rahmad Daulay

24 mei 2008

***** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar