Belakangan ini terjadi
kecemburuan antar sesama PNS karena melihat sebagian dari sesamanya memiliki
sistem penggajian yang berbeda seperti adanya sertifikasi guru yang menyebabkan
bertambahnya gaji 1 kali lipat pada guru bersertifikat profesi dan adanya remunerasi
gaji di Departemen Keuangan. Sistem penggajian yang berbeda ini memiliki target
meningkatnya kinerja serta meminimalkan korupsi.
Dan sebenarnya kecemburuan ini
bukan tanpa alasan. Seperti terjadi di beberapa tempat ternyata guru
bersertifikat malah tidak meningkat kinerjanya. Hal ini menimbulkan pemikiran
agar dibuat mekanisme evaluasi dan peninjauan kembali terhadap guru
bersertifikat yang apabila ternyata kinerjanya tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Dan kecemburuan itu semakin menjadi – jadi dengan adanya kasus
pajak yang melibatkan tersangka GT seorang PNS staf berpangkat penata muda
golongan III / A di Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan.
Kecemburuan itu bermuara pada
pendapat bahwa sertifikasi guru dan remunerasi gaji ternyata tidak efektif
meningkatkan kinerja dan belum mengikis habis tingkah laku korupsi.
Saya mencoba mengupas dari awal
permasalahan kenapa seseorang melakukan korupsi.
Dimulai dari sistem penganggaran
di mana perencanaan anggaran berbasis kinerja yang menyatakan bahwa semua mata
anggaran yang dianggarkan hanya itulah yang bisa dibelanjakan. Bagaimana
mungkin dengan begitu banyak pembelanjaan yang tidak terprediksi tapi bersifat penting
dan harus dipenuhi dan hanya karena tidak ada dalam mata anggaran maka
pembelanjaan tidak terprediksi tersebut tidak dipenuhi ??? Mengingat pentingnya
pembelanjaan tidak terprediksi tersebut maka mulailah timbul pemikiran pencarian
sumber anggaran tak resmi untuk memenuhi pembelanjaan tidak terprediksi tsb.
Dari sinilah muncul istilah dana pemasukan nonbujeter dan pengeluaran
nonbujeter. Awal mula pembelajaran keterampilan penyimpangan anggaran dimulai
dari sini.
Ternyata pada prakteknya
pemenuhan pengeluaran nonbujeter bisa dipenuhi oleh dana nonbujeter. Maka
mulailah pemikiran berkembang. Kenapa
dana nonbujeter ini diperluas saja ??? Sementara sang PNS masih hidup kekurangan
akan sandang, pangan, papan, kenderaan, kesehatan dan pendidikan. Sang PNS
masih hidup mengkontrak rumah di permukiman kumuh, makan ikan asin seadanya, pakaianpun
belum tentu bertambah walau telah melalui beberapa kali lebaran, ke mana – mana
masih naik angkutan umum dan kalau sakit masih harus antri di puskesmas atau
bidan ??? Mulailah pemasukan nonbujeter ini dipakai untuk memenuhi
kebutuhan sandang, pangan, papan, kenderaan, kesehatan dan pendidikan. Tadinya pakaian
hanya bertambah pada waktu lebaran, kini mulai menambah pakaian 3 bulan sekali.
Tadinya makan ikan asin kini mulai
makan sop buntut atau ayam goreng. Tadinya hidup di rumah kontrakan permukiman
kumuh kini mulai mencicil di komplek perumahan sederhana. Tadinya kemana – mana
naik angkutan umum kini sudah mulai mencicil kenderaan roda 2 / 4. tadinya berobat
di puskesmas dan bidan kini mulai berobat ke rumah sakit swasta, dan kadang –
kadang timbul niatan untuk check up. Tadinya hanya berniat menyekolahkan anak
hanya sampai SMU saja, kini sudah mulai mendaftarkan anaknya ke perguruan
tinggi Dan kondisi ini meningkat terus.
Dan saya berpendapat bahwa salah satu penyelesaian paling efektif dalam
pemberantasan korupsi adalah menyelesaikan permasalahan pada korupsi tingkat
dasar ini. Korupsi tingkat dasar ini merupakan awal mula dan akan tumbuh
menjadi korupsi tingkat menengah dan korupsi tingkat tinggi.
Bagaimananpun juga sistem pengelolaan keuangan negara / daerah harus lebih
difleksibelkan di mana harus terbuka peluang pembelanjaan yang tidak terprediksi
dan tidak teranggarkan tapi ternyata telah menjadi kebutuhan mendesak dan harus
terpenuhi saat itu juga bisa dipenuhi dari anggaran resmi. Artinya perencanaan
anggaran dan pembelanjaan anggaran HARUS BOLEH TIDAK SAMA, yang penting total
jumlahnya tetap sama. Bisa saja dengan menyusun konsep Addendum / Amandemen
DIPA / DPA. Kenapa tidak ? Ini malah sangat sederhana mekanismenya. Masalah
apakah akan akuntabel atau tidak ini sangat melekat pada kompetensi dari para
pengelola proyek dan di sini arti penting selektifitas pemilihan para pengelola
proyek. Sehingga dengan demikian maka tidak perlu lagi mencari – cari sumber
lain di luar anggaran resmi untuk memenuhi semua kebutuhan resmi dan tidak resmi.
Dana pemasukan nonbujeter dan pengeluaran nonbujeter sudah bisa dilupakan dari
kamus birokrasi.
Dan mengenai kebutuhan sandang, pangan, papan, kenderaan, kesehatan dan
pendidikan, ini harus dijamin pemenuhannya tanpa harus memberatkan anggaran
negara. Mengenai kebutuhan akan sandang pangan ini harus diukur bagaimana
tingkat kehidupan perdaerah dengan kemampuan gaji pokok. Dari sini timbul
pemikiran pemberian tunjangan wilayah di mana semakin tinggi tingkat biaya
kehidupan di suatu daerah maka tunjangan wilayahnya semakin tinggi. Mengenai
kebutuhan akan papan / rumah tempat tinggal dan kenderaan, ini harus diberikan
fasilitas pembelian rumah dan kenderaan roda 2 / 4 dengan pembayaran sistem
potong gaji perbulan berjangka menengah dengan catatan sistem potong gaji ini
tidak akan membebani kehidupan sehari – harinya. Mengenai kebutuhan akan
pendidikan dan kesehatan ini harus diatasi dengan asuransi pendidikan dan
asuransi kesehatan. Memang sudah ada ASKES untuk PNS namun masalahnya ASKES
masih berputar – putar di puskesmas dan RSUD, belum meluas prakteknya ke
pengobatan yang lebih spesifik. ASKES harus diperluas seluas- luasnya.
Sementara asuransi pendidikan harus dirancang di mana PNS yang ingin
menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi tidak perlu pusing – pusing karena
asuransi pendidikanlah yang akan menanggung biaya pendidikannya, termasuk biaya
hidupnya (sebagian atau keseluruhan).
Nah, dari kalkulasi tunjangan wilayah, sistem potong gaji dan asuransi –
asuransi yang disebutkan di atas setelah dikeluarkan semuanya dan bermuara pada
penghasilan bersih seorang PNS perbulan haruslah jumlahnya mencukupi untuk
hidup layak sebagai seorang warga negara.
Dengan demikian maka tidak akan timbul pemikiran dan usaha untuk mencari –
cari penghasilan nonbujeter untuk alasan – alasan mendasar yang saya sebutkan
di atas.
Setelah hal di atas bisa diselesaikan maka langkah selanjutnya adalah
merancang sistem penggajian di mana penghasilan lain yang sah di luar gaji
pokok menggunakan sistem merit poin / sistem nilai di mana setiap pekerjaan
mempunyai nilai tunjangan tertentu dan target pengerjaan tertentu. Semakin
rajin seseorang dan semakin berkualitas pekerjaannya maka akan memperoleh
tambahan gaji yang sepadan. Sehingga istilah ”Rajin malas penghasilan sama,
pintar goblok penghasilan sama” sudah tidak terdengar lagi.
Dan beberapa pemikiran lain tentang reformasi birokrasi akan efektif
dijalankan apabila hal – hal di atas telah dijalankan dengan baik.
Bagaimana dengan korupsi tingkat menengah dan korupsi tingkat tinggi ? Penyelesaian untuk ini membutuhkan kerja keras
berbasis penegakan hukum, modernisasi mekanisme tata kelola administrasi
pemerintahan, e-procurement, selektifitas pemilihan pejabat, pola promosi
jabatan dan yang kalah pentingnya adalah depolitisasi birokrasi. Namun harus
diingat, semua tindakan kurupsi tingkat menengah dan tingkat atas adalah
dimulai dari tindakan korupsi tingkat dasar. Seorang pelaku korupsi tingkat
menengah adalah alumni pelaku korupsi tingkat dasar, dan demikian seterusnya.
Saya tidak akan berpanjang lebar mengenai hal ini dan tidak akan
meneruskannya pada perilaku korupsi tingkat menengah dan tingkat tinggi. Saya
beraninya hanya membahas pada korupsi tingkat dasar ini. Bukannya takut tapi
saya tidak mau direpotkan oleh pengaduan berbasis UU ITE.
Bila kebutuhan dasar sebagai manusia dan berkeluarga hidup dengan layak
serta masa depan anak – anaknya sudah tidak perlu dipusingkan lagi maka saya
yakin dan percaya perilaku korupsi tingkat dasar akan bisa diminimalisir.
Dan saya kembali ke pertanyaan saya di awal : “Apakah ada PNS yang sejak
awal karirnya berniat untuk menjadi seorang korptor?????”
Atau : ”Apakah bang GT sejak awal karirnya pernah berniat untuk menjarah
uang 25 M???”.
Entahlah.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
1 april 2010
* *
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar