Jumat, 15 Maret 2013

Menggagas Pemilukada Murah


Apa saja yang menyebabkan pemilukada jadi begitu mahal ???

Mulai dari pencetakan stiker di jalan dan gang sempit, pembuatan baliho di sepanjang jalan utama, poster besar di pemukiman penduduk, uang jalan / uang makan / uang rokok relawan dan tim sukses sampai pada ongkos saksi di semua TPS. Itu masih yang positif. Ini saja menghabiskan ratusan juta sampai milyaran.

Bagaimana dengan pembiayaan yang tidak positif ??? Itu sudah rahasia umum dan tidak perlu dibahas panjang lebar.

Yang perlu dibahas adalah : “Kenapa ada orang sampai berani mengeluarkan biaya milyaran, belasan milyar bahkan puluhan milyar (ratusan milyar ada nggak ya ???) hanya untuk merebut jabatan kepala daerah yang sebenarnya gajinya kalau ditotal selama menjabat 5 tahun takkan mencapai 1 milyar ???”


Sudah pasti karena ada keyakinan bahwa berapapun biaya politik yang dikeluarkan pasti akan bisa dikembalikan. Pada umumnya pintu utama pengembalian biaya politik tersebut adalah pada proyek – proyek APBD. Jadi bila pintu utama ini bisa ditutup maka besar kemungkinan tidak akan ada lagi yang bersedia mengeluarkan biaya milyaran tersebut. Proyek APBD seharusnya dilaksanakan melalui tender. Dan pada umumnya tender masih bersifat manual dan sifat manual tersebut rawan terjadi “kesalahan”. Dan “kesalahan” tersebut merupakan lahan untuk membayar hutang politik. “Kesalahan” tersebut harus ditutup dengan melakukan pelelangan secara elektronik / e-procurement. Dengan e-procurement maka “kesalahan” akan terhindarkan.

Satu lagi pintu utama pengembalian biaya politik adalah “bagi-bagi jabatan”. Ini mengakibatkan banyak terjadi ketidaksesuaian antara pejabat dengan jabatannya. Ini harus ditutup dengan memperketat peraturan pola promosi jabatan dan persyaratan pemilihan pejabat daerah. Dengan pengetatan tersebut maka jabatan sebagai instrumen pengembalian biaya politik bisa ditiadakan.

Dalam pemilukada, terjadi jor-joran spanduk, stiker, baliho, poster yang pada intinya adalah untuk memperkenalkan seseorang sebagai calon kepala daerah. Banyak pihak berkesimpulan bahwa dengan cara seperti ini tidak membuat rakyat mengenal sang calon kepala daerah. Ini dikarenakan alat publikasi seperti spanduk, stiker, baliho, poster hanya memperkenalkan gambar, nama, titel, dan sedikit kalimat politik. Apalagi masyarakat daerah adalah bukan masyarakat informatif. Bisa dibayangkan dengan alat pengenal seperti baliho dll tersebut hanyalah berfungsi untuk memeriahkan pemilukada saja. Sedangkan fungsi informatifnya kurang tersampaikan. Untuk ini perlu dipikirkan metode pengenalan calon yang lebih efektif efisien dan hemat biaya. Ada baiknya pengenalan calon ini diserahkan kepada KPUD saja. KPUD memasang baliho besar berisi semua gambar, nama dan motto calon. Kemudian untuk lebih mengenal cang calon lebih mendalam lagi maka KPUD memfasilitasi brosur 2 halaman penuh dari masing-masing calon yang berisi latar belakang, pendidikan, organisasi, pekerjaan dan visi misi yang semuanya diuraikan secara naratif. Brosur tersebut dibagikan kepada semua pemilih bersamaan dengan masa kampanye atau pada saat pembagian undangan pencontrengan. Keberadaan brosur akan memberi kesempatan kepada pemilih untuk mengenal dan membanding-bandingkan antar calon kepala daerah.  

Keberadaan tim sukses dan relawan juga merupakan sumber pengeluaran tersendiri yang menelan biaya besar. Keberadaan mereka sebenarnya bisa diminimalisir apabila pemilukada menerapkan sistem elektronik voting / e-voting. Dengan e-voting maka saksi – saksi di TPS tidak diperlukan lagi. Yang diperlukan hanya seorang pakar IT untuk mengaudit hasil pemungutan suara metode e-voting tersebut. Selain keberadaan saksi – saksi dari tiap calon, keberadaan kertas suara dan kotak suara serta tinta sudah tidak diperlukan lagi. Hanya saja e-voting menimbulkan pembiayaan baru berupa perangkat keras dan perangkat lunak e-voting. Namun perangkat tersebut bisa dipakai bergantian antar daerah bila perlu antar propinsi sehingga pembiayaannya bisa diseimbangkan.

Satu lagi yang menjadi titik lemah pemilukada adalah keberadaan Panwas yang tidak punya ruang gerak yang luas akibat dari keterbatasan anggaran dan personil yang dimilikinya. Anggaran Panwas perlu diperbanyak karena Panwas harus merekrut person yang selama ini menjadi beban biaya tinggi bagi para calon kepala daerah. Hampir semua tokoh masyarakat dan tokoh agama menjadi tim sukses dan uang makan mereka tentu tidak bisa disamakan dengan tim sukses biasa. Apabila Panwas merekrut mereka sejak dini dengan imbalan yang memadai maka pembiayaan politik calon kepala daerah menjadi berkurang.

Dengan uraian di atas, apakah masih akan ada yang berani mengeluarkan biaya milyaran, belasan milyar atau puluhan milyar hanya untuk sebuah kursi kepala daerah ?

Salam reformasi

Rahmad Daulay

28 Juni 2010.

*  *  *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar