Jumat, 22 Maret 2013

Kurikulum Pendidikan VS Game Point Blank


Alkisah, dalam sebuah kisah fiktif, konon kabarnya, seorang anak SD, terkantuk-kantuk di mejanya menunggu bel pulang sekolah berdentang. Anak ini memiliki nilai akademik terendah di kelasnya. Dan ketika bel pulang sekolah berdentang maka langsung dengan semangat empat lima kantuknya hilang dan dengan gagahnya bergegas keluar sekolah. Pulang ? Tidak. Langsung melangkah ke warnet dekat sekolah. Dengan cekatan membuka sakunya dan dengan modal 4 ribu rupiah sudah bisa berkuasa selama 1 jam terhadap akses internet. Dalam hitungan menit sang anak sudah langsung tenggelam dalam peperangan game point blank online.

Ketika kita begitu sibuk mempermasalahkan tentang perubahan kurikulum 2013 dan membanding-bandingkan dengan beberapa kurikum sebelumnya. Ternyata di lapangan para pelajar terutama pelajar SD sibuk dengan game onlinenya. Rupanya di lapangan semua bentuk kurikulum sedang berhadapan dengan maraknya dunia hiburan anak terutama game online. Begitu lihainya mereka memainkan peperangan di game online sementara mereka tergagap mempelajari baca tulis dan hitung.

Dari ilustrasi di atas tercermin bahwa permasalahan pendidikan terutama pendidikan dasar dan menengah bukan hanya masalah kurikulum.


Secara kasat mata dari unsur intern terlihat bahwa selain kurikulum, masalah yang membelit dunia pendidikan dasar menengah adalah guru, anak didik, sarana prasarana dan teritorial.

Guru memiliki kesenjangan baik dari segi kualitas maupun kesejahteraan dan penyebaran. Dari segi kualitas, akibat dari perguruan tinggi kependidikan berkualitas berada di perkotaan maka proses dan produk perguruan tinggi kependidikan berupa sarjana pendidikan sudah terlanjur akrab dengan suasana kehidupan perkotaan. Sehingga untuk menjadi guru di pedesaan sangat tidak diminati. Akibatnya di pedesaan kekurangan guru. Yang ada hanya beberapa guru dari PGSD atau PGA atau PGSLP yang setelah menjadi guru mereka kuliah kembali pada perguruan tinggi terdekat untuk mengambil gelar sarjana pendidikan, tak jarang atau sebagian besar justru mengambil kuliah kelas jauh, artinya dosennya yang mendatangi mahasiswanya. Beberapa lagi adalah guru honorer yang digaji dari dana BOS. Sebagian besar, atau hampir semua fakultas kependidikan berada di perkotaan. Sedangkan sebagian besar sekolah, terutama sekolah dasar dan menengah berada di pedesaan. Harus ada rekayasa sistematis agar sarjana pendidikan berkualitas bersedia menjadi guru di pedesaan. Pendirian fakultas kependidikan baru di pedesaan sudah sangat merndesak. Program Guru Tidak Tetap untuk penempatan di pedesaan dgn gaji setara CPNS masa 3 tahun sudah sangat mendesak. Beasiswa terhadap tamatan terbaik SMU perkecamatan untuk menempuh pendidikan tinggi di fakultas kependidikan dgn ikatan dinas kembali ke pedesaan sudah sangat mendesak. Atau cara lain yang bisa menggerakkan sarjana pendidikan berkualitas untuk mengajar di desa terpencil. Tamatan SMU terbaik setempat diberi beasiswa dan mengabdi di daerah asalnya adalah solusi terbaik untuk saat ini. Sedangkan dari aspek kesejahteraan sekarang sudah ada program sertifikasi guru yang mana guru bersertifikat akan mendapatkan tunjangan sertifikasi guru 1 kali gaji. Hanya saja ujian untuk mendapatkan sertifikasi guru ini berpola ujian berbasis kualitas maka sudah barang tentu guru perkotaan yang mendominasi sertifikasi guru. Sehingga terjadi kesenjangan kesejahteraan antara guru sertifikasi dan guru nonsertifikasi. Hal ini harus diatasi dengan memperbaiki tunjangan guru nonsertifikasi sampai tingkat yang layak.   

Dari aspek anak didik. Sebelum masuk sekolah SD, anak didik sudah terlebih dahulu mengikuti pendidikan TK atau pendidikan anak usia dini. Di luaran mereka sudah mengenal game online. Di televisi mereka sudah mengenal para pahlawan robot atau lainnya. Sehingga ketika masuk SD mereka lebih mengenal power ranger daripada pahlawan nasional yang hanya punya pedang dan bambu runcing. Menurut saya adalah tidak mungkin untuk mengarahkan semua pelajar untuk mengikuti kurikulum pendidikan. Justru seharusnya spesialisasi bakat dan minat yang ada dalam diri pelajar yang harus difasilitasi. Seharusnya sekolah menengah kejuruan harus lebih banyak dari sekolah menengah umum. Sekolah menengah kejuruan harus berdomisili di daerah yang cocok dengan ilmu yang dipelajari. Sangat tidak cocok apabila sekolah menengah pertanian atau sekolah menengah perikanan didirikan di perkotaan. Dan yang lebih ekstrem lagi adalah perlu dipikirkan untuk mendirikan sekolah kejuruan di tingkatan sekolah menengah pertama atau SMP kejuruan. Tamatan SMP kejuruan sudah berumur rata-rata 15 tahun dan sudah bisa memasuki dunia kerja dalam skala yang lebih terbatas. Satu hal lagi yang mendesak untuk dipikirkan adalah fasilitas lebih yang harus diberikan kepada para siswa berprestasi di bidang pendidikan. Para pelajar terbaik di tingkatan yang lebih kecil seperti pelajar terbaik tingkat kelas dan tingkat sekolah harus diberi fasilitas apakah itu dalam bentuk beasiswa atau lainnya. Bagi tamatan terbaik sekolah sudah perlu dipikirkan untuk memberi fasilitas bebas testing untuk jurusan tertentu terutama jurusan yang sangat dibutuhkan di pedesaan seperti keguruan dan kebidanan.

Sarana prasarana pendidikan sudah diatasi dengan program dana alokasi khusus yang alokasinya untuk rehabilitasi gedung, buku, alat peraga, alat olah raga. Sedangkan dalam hal kebutuhan administrasi SD dan SMP sudah diatasi dengan dana bantuan operasional sekolah. Hanya saja di sana sini masih terjadi kelemahan terutama dalam hal tender pengadaan sehingga muncul pemikiran agar semua barang di bidang pendidikan dimasukkan saja ke dalam e-kataloque LKPP sehingga pengadaan barang bidang pendidikan tidak perlu tender dan cukup memakai standar harga dan spesifikasi dalam e-kataloque. Kalaupun masih harus tender maka seharusnya Kementrian pendidikan mencantumkan kewajiban tender online/eproc dalam juknis penggunaan dana DAK tersebut.

Masalah teritorial masih menjadi masalah tersendiri. Fluktuasi jumlah murid terus terjadi sementara jumlah ruang kelas dan guru tidak mengalami fluktuasi. Sehingga ada kalanya pada tahun tertentu ruang kelas kurang akibat jumlah murid yang melebihi kapasitas. Tapi di tahun yang lain mengalami kekurangan murid akibat pertumbuhan penduduk yang tidak linear.

Kurikulum menurut saya hanya satu bagian kecil dari masalah dunia pendidikan. Sebuah kurikulum yang terbaik hanya bisa diterapkan dengan dukungan penuh anak didik, guru dan sarana prasarana. Apa jadinya bila kurikulum dijalankan dalam ruangan kelas yang hampir ambruk dan bocor dengan guru yang honornya sudah tidak dibayar berbulan-bulan dan dengan anak didik yang lebih suka game online daripada menimba ilmu ?

Masalah pendidikan harus diselesaikan secara integral bukan parsial pada kurikulum semata.

Salam reformasi

Rahmad Daulay


·           *  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar