Jumat, 15 Maret 2013

Isu Monarki dan Postmodernisme Politik Demokrasi dan Pilkada


Di tengah duka saudara kita di Jogjakarta, mendadak mereka dikagetkan secara sosiologis dan kultural tentang isu monarki. Dan reaksipun beragam, mayoritas lebih mencintai Sultan daripada demokrasi yang sama sekali asing bagi mereka.

Bagaimanapun juga kita harus arif dan bijaksana, penghormatan terhadap kebhinneka tunggal ikaan harus dilaksanakan oleh semua golongan, termasuk golongan elit.

Terkadang kita harus merenung kembali ke masa lalu di masa awal kemerdekaan. Sesungguhnya negara ini didirikan di saat krisis, bukan merupakan kesepakatan segenap rakyat untuk mendirikan negara dan pemerintahan, tapi adalah inisiatif dari para elit golongan terdidik yang pada umumnya sarjana didikan barat atau kebarat-baratan. Itupun harus dengan lakon penculikan terlebih dahulu. Dan dengan pola yang sama kita menjalankan negara ini, pola top down, seolah – olah semua manajemen kenegaraan dengan segala peraturannya sudah sesuai dengan keinginan rakyat. Apa benar semua sistem yang ada sekarang ini mendapat dukungan dan legitimasi dari rakyat ? benarkah rakyat mendukung demokrasi ? Benarkah rakyat mendukung reformasi ?  Jangan – jangan rakyat ternyata lebih menyukai monarki ? Bukankah penguasa nusantara masa lalu adalah para raja dengan kerajaannya yang selalu kita bangga – banggakan dalam buku sejarah perjuangan bangsa di sekolah – sekolah ??? Jangan – jangan rakyat ternyata tidak menyukai reformasi ? Jangan – jangan rakyat lebih menyukai suasana orde baru dengan stabilitasnya.


Negara modern dengan unsur demokrasi merupakan hasil dari ketidakpuasan atas sistem ketatanegaraan masa lalu yang dijalankan dengan pola kerajaan yang bila kita perdalam lagi merupakan bagian dari imperium yang ada pada saat itu. Salah satu penyebab runtuhnya dinasti kerajaan masa lalu adalah akibat rakyat ditelantarkan sehingga rakyat mendukung gerakan perubahan pada masa itu. Apalagi pada masa itu golongan terdidik kian tumbuh pesat dan berhasil menyaingi keterdidikan kerajaan. Untuk kasus Indonesia, sesama kerajaan terlalu mudah untuk diadu domba oleh penjajah Belanda. Maka lahirlah alternatif baru sistem ketatanegaraan yaitu negara modern dengan demokrasinya. Pemimpin negara dipilih langsung oleh rakyat.

Setelah berjalan beberapa puluh tahun, untuk Indonesia berjalan beberapa belas tahun, demokrasi mulai menebar kekecewaan. Demokrasi ternyata tak kunjung memberi kesejahteraan. Justru negara mulai terancam ambruk akibat semua sendi – sendi negara tergerogoti korupsi yang berujung pada pembiayaan politik. Rakyat hanya dilibatkan sekali dalam lima tahun, itupun hanya demi seratus ribu, bahkan ada yang kurang darinya.

Demokrasi ternyata tidak memberi jawaban. Modernitas ketatanegaraan ternyata hanya fatamorgana. Jangan – jangan bibit – bibit postmodernisme politik sudah mulai tumbuh, apalagi dipicu oleh isu monarki Jogjakarta ? Kebosanan pada demokrasi politik terutama politik pilkada merupakan bom waktu bagi tumbuh kembangnya postmodernisme politik demokrasi.

Rakyat sudah jenuh dengan demokrasi. Rakyat mulai melirik kembali ke masa lalu. Masa di mana rakyat dipimpin oleh raja yang arif bijaksana secara turun temurun. Beberapa kerajaan masa lalu yang masih eksis sampai saat ini ternyata masih menyimpan suasana arif bijaksana tersebut. Kesultanan Jogja merupakan icon sifat arif bijaksana yang terlihat secara kasat mata.

Lantas, akankah kita harus kembali ke masa lalu, masa monarki ?

Bagaimanapun juga semuanya harus kita kembalikan kepada rakyat. Pergulatan politik di tingkatan elit takkan pernah bisa mewakili suara rakyat yang sebenarnya.

Bila kita memang sepakat bahwa demokrasi masih bisa diselamatkan dan dipakai sebagai instrumen untuk kesejahteraan rakyat, mari kita perbaiki semua aspek yang selama ini menjadi biang kerok hitamnya wajah demokrasi. Rencana revisi UU otonomi daerah harus bisa menghasilkan para pemimpin yang berasal dari kelompok putra terbaik. Terutama kasus pilkada harus segera dibenahi. Pilkada merupakan wajah terdepan demokrasi karena bersentuhan langsung dengan rakyat. Revisi UU otonomi daerah harus mensyaratkan keberhasilan para putra terbaik bangsa untuk menjadi pemimpin dengan segala mekanisme yang sudah banyak diusulkan oleh elemen masyarakat pecinta demokrasi dan otonomi daerah.

Bila tidak maka jangan salahkan rakyat apabila mereka secara kompak meminta untuk kembali ke pemerintahan masa lalu, yaitu monarki.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

11 Desember 2010.

*   *   *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar