Budi, demikianlah namanya, anak
kecil tetangga rumahku. Orangnya masih sekolah di tingkat Sekolah Dasar, namun
pikirannya sudah seperti orang dewasa.
“Kenapa sungai bisa banjir, bukankah
air hujan harusnya terserap tanah ?”
“Kenapa hutan bisa gundul. Bukankah
rumput bisa tumbuh sendiri ?”
Dan puluhan pertanyaan lainnya yang
sulit untuk kuterangkan untuk anak kecil seperti dia.
Sore ini, kulihat di menanami buah
jambu di pot plastik, jumlahnya belasan..
“Aku akan menanami semua hutan
gundul” katanya ketika kudekati.
“Hutan gundul kan luas” tanyaku.
“Ia, tapi pohon jambu kan berbuah
terus, dan bijinya akan bertebaran di mana mana. Lama lama akan memenuhi semua
hutan gundul” jawabnya sengit.
“Bah !” malu juga dimarahin anak kecil
seperti dia.
Begitu asyiknya dia, sampai 10 pot
berhasil ditanamnya. Ditaruhnya seluruh pot tersebut di samping dinding
rumahnya.
“Setelah besar nanti aku akan tanam
di seluruh hutan gundul” ujarnya dengan nada puas.
Hari demi hari, buah jambu tanaman si
Budi, sudah tumbuh sekitar satu jengkal. Sementara pohon jambu yang di halaman
rumahnya terus menghasilkan jambu yang berjatuhan di atas tanah.
“Budi, itu di halaman masih banyak lagi, nggak ditanam di pot ?” tanyaku.
“Budi, itu di halaman masih banyak lagi, nggak ditanam di pot ?” tanyaku.
“Nggak, nggak ada uang buat beli pot”
jawabnya enteng.
Disapunya halaman rumahnya yang
penuh dengan jambu yang berjatuhan, dikumpulkannya dan dibuangnya ke paret
depan rumahnya.
Demikian hari ke hari, buah jambu di
pot tumbuh semakin tinggi dan halaman rumah si Budi disapunya dan dibuangnya ke
paret depan rumah.
hingga pada suatu hari, si Budi
berlari ke arahku dan bertanya “Bang, apakah Abang ada menanam buah jambu di
sungai ?”
“Nggak” jawabku. “Kenapa”
“Anu, banyak buah jambu bertumbuhan
di pinggir sungai” jawabnya.
Aku jadi teringat halaman rumah Budi
yang sering dipenuhi buah jambu yang berjatuhan dan disapu serta dibuang ke
paret depan rumah. Bukankah paret tersebut bermuara ke sungai tempat si Budi
sering mandi – mandi bersama teman – temannya ?
“Mari kita lihat” ajakku ke si Budi.
Sesampai di pinggir sungai, kulihat
berjejer beberapa pohon jambu setinggi 30 cm kurang lebih. Kami telusuri ke
hilir, juga demikian kondisinya.
“Pertumbuhan jambu lebih subur di
sini dari pada dipotmu, Budi” kelakarku padanya.
Si Budi memandang ke arah jambu yang
bertumbuhan di pinggir sungai tersebut dengan terheran dan kagum.
Kamipun pulang. Di perjalanan si
Budi bertanya, “Boss, bisa nggak ya penghijauan hutan gundul dengan cara
pertumbuhan pohon jambu di sungai tadi ?”
“Bah !” Anak ini terlalu serius padahal
masih kecil.
“Bisa” jawabku menghiburnya.
Besoknya, kulihat si Budi membuang
pot bunga jambunya ke sungai. Dan mulai hari itu si Budi asyik membersihkan
halaman rumahnya dari buah jambu yang berjatuhan dari pohonnya. Dikumpulkannya
dan dibuangnya langsung ke sungai. Dan halaman rumah orang lainpun tak luput
dari sasaran pembersihannya dari buah – buahan yang jatuh dari pohonnya. Para
tetanggapun senang. Akupun ikut senang.
Malam hari, aku bermimpi, kulihat si
Budi dilantik jadi Menteri Lingkungan Hidup dan langsung menginstruksikan
seluruh camat dan kepala desa untuk melakukan seperti yang dilakukannya di masa
kecilnya, membuang sampah buah – buahan ke sungai agar bertumbuhan di pinggiran
sungai.
Salam Reformasi
Rahmad Daulay
26 September 2006
·
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar