Alkisah, konon kabarnya,
seseorang memiliki pohon mangga di depan rumahnya. Dan pada waktu itu memang
sedang musim mangga, dan pohon mangganya ikut berbuah dengan lebatnya. Sang
pemilik pohon merasa tidak mampu untuk memanen sendiri buah mangga tersebut. Maka
dicarilah orang yang bisa memanen pohon mangga tersebut. Ada dua orang yang
menyanggupi, yang satu meminta bayaran 200 ribu, yang satu lagi meminta bagian
25 % dari jumlah keseluruhan buah yang dipanen. Mengingat pemilik pohon mangga
tersebut bukanlah orang yang berkecukupan dan dia tak punya uang 200 ribu maka
jatuhlah pilihan pada orang yang meminta bagian 25 % tersebut. Bayangkan
apabila orang yang disuruh memanen tersebut meminta bagian 75 % atau lebih,
akankah pemilik mangga itu akan menyetujuinya ? Saya rasa selagi orangnya masih
waras maka pemilik mangga akan lebih suka membiarkan mangga tersebut membusuk
di pohonnya atau menebang saja pohonnya untuk mendapatkan buahnya..
Bayangkan seandainya sang pemilik
mangga tersebut adalah negara yang bernama Indonesia. Dan pohon mangga
tersebut adalah seluruh kekayaan alam berupa bahan tambang. Apakah negara yang
bernama Indonesia
itu berkelakuan seperti halnya sang pemilik mangga tersebut ataukah sudah
bertindak tak waras lagi ???
Kenyataannya kita memang sudah
tidak waras lagi, memberikan lebih dari 75 % hasil pertambangan kepada
perusahaan pengexplorasi, padahal bahan tambang tersebut adalah milik kita.
Ada argumen yang menyebutkan bahwa perusahaan
pengexplorasi memiliki teknologi sedang kita tidak. Dan itu hanya alasan yang
mengada – ngada. Orang yang ditugaskan untuk memanen mangga tersebut juga
memiliki keterampilan memanjat dan memanen mangga tapi dia tidak meminta bagian
75 % atau lebih. Bila memang teknologi adalah besaran saham perusahaan
pengexplorasi maka bukankah kekayaan alam yang akan ditambang merupakan besaran
saham milik Indonesia
? Lebih besar mana persentase sahamnya antara teknologi explorasi dibanding
harga bahan tambang tersebut ? Paling banter teknologinya hanya dihargai 25 %
dan minimal bahan tambang tersebut dihargai 75 %.
Dan UUD 1945 telah mengamanatkan
bahwa “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dukuasai oleh negara
dan dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat”, bukan untuk kemakmuran
investor pengexplorasi.
Sudah saatnya seluruh UU
pertambangan direvisi secara extrem dan mengikuti logika sederhana panen buah
mangga di atas. Bila tidak ada perusahaan asing yang mau mengexplorasi, biarkan
saja bahan tambang itu tertanam di bumi Indonesia
sampai suatu saat ada putra terbaik Indonesia yang mampu mengolahnya.
Sedangkan pertambangan yang sudah
terlanjur beroperasi agar dilakukan renegosiasi.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
16 nopember 2010.
* * *.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar