Jumat, 02 November 2012

Biaya Politik Daerah : Antara Kepentingan dan Komitmen Pembangunan



Sudah bukan rahasia lagi bahwa politik daerah merupakan beban tersendiri dalam geliat kehidupan reformasi di tingkat daerah. Politik daerah telah menyedot banyak energi, sumber daya ekonomi dan keuangan serta kestabilan / kesinambungan pembangunan daerah. Kenapa biaya politik daerah begitu mahal ?

Dalam teori ekonomi paling sederhana menyebutkan bahwa apabila ketersediaan jauh lebih sedikit daripada penawaran maka harga akan naik melambung tinggi.. 


Politik daerah terutama pilkada hanya memberikan kesempatan kepada calon kepala daerah dengan dukungan suara minimal 15 % suara atau dengan kata lain calon kepala daerah hanya akan berjumlah maksimal 6 calon. Dan yang berminat menjadi kepala daerah jumlahnya sangat banyak. Pada tahap pencalonan saja sudah berstatus “sangat mahal”. Ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa ketua umum parpol daerah jarang yang mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah dan hanya bersedia menjadi calon wakil kepala daerah, tentu ada sesuatu di balik ini semua. Walaupun bukti materil tidak bisa dihadirkan namun isu yang beredar menyebutkan bahwa biaya untuk meraih kursi kepala daerah bisa mencapai minimal belasan milyar. Bayangkan apabila biaya sebesar itu dipergunakan untuk membangun industri perdesaan, sudah berapa banyak sektor ketenagakerjaan yang bisa dihidupkan.

Mahalnya biaya politik daerah hanya akan membuat para calon kepala daerah yang tidak punya modal yang mencukupi tidak bisa ikut bertanding di forum pilkada. Jangankan untuk bertanding, untuk menjadi peserta resmi saja sudah tidak memungkinkan. Dan ini akan membuat kehidupan otonomi daerah hanya berkutat pada politik saja dan pembangunan serta ekonomi hanya akan menjadi subordinasi saja. Dan tidak jarang terjadi pembangunan dan ekonomi malah sangat tergantung pada dukungan politik. Belum lagi energi yang akan habis tersedot untuk “pengembalian modal” sudah merupakan keharusan yang wajib dijalani.

Untuk itu perlu kiranya biaya politik daerah dipermurah agar para calon kepala daerah yang memiliki modal pas – pasan tapi berkualitas bisa ikut bertanding di pentas pilkada. Caranya dengan tetap memakai prinsip ekonomi sederhana di atas, yaitu memperbesar jumlah ketersediaan sehingga harga bisa diturunkan. Dengan kata lain, jumlah persentase dukungan suara partai untuk mencalonkan calon kepala daerah harus diturunkan. Saya pribadi melihat bahwa angka dukungan 5 % suara masih cukup layak untuk bisa sebagai syarat pencalonan seorang calon kepala daerah. Dengan demikian dari jalur parpol akan muncul maksimal 20 calon kepala daerah. Dan dari calon independen / perseorangan (bila syarat dukungan dibuat sama yaitu 5 %) juga akan menghadirkan maksimal 20 calon kepala daerah. Sehingga dengan demikian maksimal jumlah 40 calon kepala daerah akan memakan biaya politik pencalonan yang lebih murah dari sebelumnya dan menjanjikan keterwakilan yang lebih serta peluang untuk mereka yang bermodal pas – pasan tapi punya kualitas.

Bagaimana dengan legitimasi dukungan legislatif atas sang kepala daerah yang terpilih hanya dengan dukungan suara yang terdistribusi kepada 40 calon tadi ?

Untuk kondisi sekarang, legitimasi dukungan dengan parameter jumlah suara bukan prioritas utama. Prioritas kita adalah bagaimana mempermurah biaya politik pilkada, mendorong SDM terbaik untuk bisa ikut pilkada dan menyeimbangkan dominasi kehidupan politik dan pembangunan serta ekonomi daerah.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

31 desember 2007

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar