Jumat, 30 November 2012

Kita mulai dari sampah



Bagaimana akibat dari banjir Jakarta beberapa waktu yang lalu ? Mengerikan. Dan ini juga telah terjadi di banyak tempat..

Sudah banyak analisa para pakar untuk menyelesaikan masalah banjir, ada yang menawarkan penyelesaian di hulu sungai dengan penghijauan, ada yang menawarkan penyelesaian di hilir sungai dengan sistem drainase dan jaringan irigasi pemecah debit air.

Bila ditelaah lebih jauh pada anatomi sungai itu sendiri, berdasarkan pengamatan pribadi selama ini, bahwa sesungguhnya sungai Indonesia sudah menjadi tong sampah terbesar di dunia. Proses pendangkalan dasar sungai sudah bukan lagi akibat sedimentasi murni, tapi akibat penumpukan sampah yang dibuang oleh masyarakat sepanjang aliran sungai. Masyarakat sudah mati rasa tentang arti penting lingkungan hidup. Masyarakat sudah mengalami proses cuekisasi lingkungan. Walaupun banyak dibangun tempat pembuangan sampah yang hanya berjarak beberapa meter saja dari rumahnya, namun itu bukan berarti masyarakat tidak membuang sampah ke sungai. Begitu praktis, hanya dengan sekali ayunkan tangan maka masalah sampah di rumahnya sudah selesai dan sampahpun mengalir sesuka hatinya. Dan yang lebih parah lagi saya pernah melihat masyarakat membuang sampah ke selokan yang hanya berpenampang 10 cm kali 10 cm dan memang sampahnya hanyut secara perlahan dan entah di mana nantinya terjadi
penyumbatan aliran itu bukan masalah lagi karena akan menjadi masalah orang lain. Mengenaskan. Masyarakat kita yang katanya ramah ternyata sudah sedemikian parah rasa kepedulian lingkungannya.
Bagaimana mengatasinya ? Lewat media ulama dan tokoh masyarakat rasanya sudah tidak efektif lagi karena mereka semua sudah jauh dari akarnya dan lebih sering menjadi alat politik. Lewat peraturan juga tidak berguna lagi karena tidak ada yang bisa jadi pengawas dari pelaksanaan aturan tersebut.

Salah satu jalan adalah dengan memberi nilai ekonomi pada sampah tersebut sehingga masyarakat tidak akan membuang begitu saja sesuatu yang bernilai ekonomi. Terutama di zaman serba sulit ini maka sampah akan menjadi komoditi bagi pihak yang tidak memiliki pekerjaan. Dari mana dana untuk pemberian nilai ekonomi sampah ini ? Pakai saja dana operasional Dinas Kebersihan dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Pemerintah Daerah. Selama ini dana operasional untuk pengelolaan sampah hanya habis untuk menggaji para petugas pengangkut sampah dan proses pengangkutan sampah ke tempat pembuangan akhir. Bila dana ini dialihkan untuk proses pemberian nilai ekoonomi pada sampah dengan memberi harga tertentu pada sampah jenis tertentu dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Pemerintah Daerah bertindak sebagai penadah sampah yang sudah terpilah – pilah ini dan dengan teknologi pengolahan sampah menjadi pupuk organik untuk mengolah sampah organik dan teknologi daur ulang untuk sampah hasil produksi pabrik seperti plastik dan sebagainya maka saya rasa ini akan lebih berguna dan memberikan berbagai efek terhadap lingkungan seperti pengurangan kecepatan pendangkalan sungai, menjaga debet aliran air sungai, kelestarian lingkungan hidup, membuka lapangan kerja dan bisa juga untuk penelitian dan pengembangan lebih jauh tentang teknologi pembuatan pupuk organik.

Seperti jargon politik yang selama ini berkembang : tidak ada lawan abadi dan teman abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Maka untuk sampah ini jargonnya adalah : tidak ada sampah abadi, yang ada hanyalah pupuk organik dan penghasilan.

Salam Reformasi

Rahmad Daulay
2 maret 2007

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar